Sabtu, 15 Maret 2014

Pos Kupang dan Bahasa Lokal

ARTIKEL OPINI 
(Pernah dimuat di SKH Pos Kupang, Sabtu, 8 Maret 2014)

Pos Kupang dan Bahasa Lokal

(Lebih dari Sekadar Daya Tarik)

Oleh : Reinard L. Meo

Peminat Bahasa Lokal, tinggal di Wisma Mikhael, Ledalero

Seperti biasa, ruang baca Unit Mikhael Ledalero selalu tak pernah sepi pengunjung. Penulis dan beberapa teman Frater kemudian dibuat terperangah, ketika membaca SKHU PK, Sabtu, 1 Maret 2014. Pada halaman 18, rubrik khusus daerah Maumere, terdapat satu kolom kecil dengan judul kulababong. Lahirnya kulababong, hemat penulis, tidak hanya mengisi ‘situasi menjandanya’ tapaleuk, tetapi lebih dari itu, menjadi indikasi kebangkitan Bahasa Lokal. Setelah berdiskusi beberapa menit sambil menikmati PK, terbersit dalam benak penulis untuk menelurkan artikel ini. Apresiasi, revitalisasi, dan anjuran, menjadi tiga nada dasar yang melatari artikel sederhana ini.

Bahasa Lokal dan Apresiasi buat Florianus Dus Arifian (FDA)
Kebhinekaan Indonesia, menjalar sampai ke segala segi kehidupan. Salah satu di antara multi-keberagaman itu ialah daerah dan budayanya. Hampir pasti, setiap daerah di Indonesia, memilik budaya dan kekhasannya masing-masing. Bahasa lokal (baca: bahasa daerah), sebagai ekspresi budaya yang paling konkret, juga turut menjadi indikasi paling akurat dari setiap daerah, yang membedakan satu dengan yang lainnya. NTT, sebagai bagian dari Indonesia, turut mempresentasikan realitas tersebut di atas. Kita mengenal bahasa-bahasa daerah yang amat variatif, semisal bahasa Tetun, bahasa Dawan, bahasa Manggarai, bahasa Bajawa, bahasa Ende, bahasa Maumere, bahasa Nagekeo, bahasa Riung, dan bahasa Nagi. Heterogenitas bahasa ini merupakan kekayaan yang diwariskan turun-temurun, yang (diharapkan) masih terus dipelihara secara baik
Dua hari berturut-turut (21 dan 22 Februari 2014), PK menurunkan artikel FDA, dosen pada STKIP St. Paulus, Ruteng. Sebagai seorang akademisi, FDA coba memaknai Hari Bahasa Ibu Internasional, dengan sebuah ajakan sederhana. “NTT, Mari Melestarikan Bahasa Lokal.” Di tengah pusaran polemik seputar politik, sastra, pemilu, hukuman mati, manipulasi keadilan, bencana alam, dan KKN, FDA muncul dengan sebuah tawaran baru. Secara sepintas lalu, memang kedengaran sederhana. Namun, sesungguhnya, inilah seruan profetis seorang putera NTT, sebuah suara yang cukup signifikan, jika tidak ingin disebut sebagai realisasi dari nasionalisme. FDA mengangkat kembali urgensi bahasa lokal, bahasa khas daerah kita masing-masing, dengan memebeberkan nilai-nilai yang tereksplisit dalam kedaerahan bahasa kita. Dalamnya juga, FDA mengungkit soal kekeliruan paradigma dan absennya perhatian pemerintah pada bahasa lokal. Bahasa lokal dibiarkan ‘merana’ hingga akhirnya raib dari panggung dialog publik, dan kehilangan jati diri. Selanjutnya, FDA mengajak untuk “Melestarikan Bahasa Lokal dalam Gerakan Kolektif ”. Ajakan yang amat positif dan mendesak, karenanya, apresiasi patut dialamatkan kepada FDA.

Pos Kupang dan Bahasa Lokal
            Paul Bolla (mantan wartawan PK), dalam opininya (PK, 2 Desember 2013) mengisahkan lahirnya kolom tapaleuk. Atas inisiatif Almarhum Julius Syaranamual (seorang dari para fundatores SKH PK), tapaleuk muncul dan tetap eksis hingga saat ini dalam SKH PK. Pada titik ini, jelas terbaca, perhatian terhadap bahasa lokal, sejatinya telah sejak lama dirintis PK. FDA kemudian menekankan bahwa tapaleuk bukanlah lelucon belaka, melainkan ekspresi pembinaan bahasa lokal. Dan PK telah membuktikannya.
            Dalam kerangka yang sama, penulis juga ingin menyoroti aspek edukatif SKH PK. Bahwasannya, sebagai media massa, PK mempunyai tanggung jawab moral untuk mendidik masyarakat. Bahasa lokal yang menyimpan banyak nilai dan arti, perlu mendapat tempat yang tepat. Bahasa lokal sebagai kekayaan dan warisan budaya, mesti mendapat perhatian dari media. Media terpanggil untuk turut ambil bagian dalam pelestarian kearifan-kearifan lokal. PK, boleh jadi, berdiri pada garda terdepan dalam upaya merealisasikan tawaran FDA. Bahasa daerah perlu dilestarikan secara kolektif, dan media adalah mediasinya.
            Eksisnya tapaleuk dan kini, munculnya kulababong (sara Sikka), merupakan secercah harapan yang terbit pada waktu yang sama sekali belum terlambat. Namun, di tengah konteks heterogenitas daerah di NTT, tapaleuk dan kulababong  saja, rasa-rasanya belum cukup. Penulis coba membeberkan sederetan logika sederhana, sebagai wujud kecintaan penulis pada bahasa lokal, serentak anjuran bagi daya tarik PK. Jika rubrik tiap daerah dalam PK, dimuat juga kolom seperti tapaleuk dan kulababong, maka hal itu akan lebih dari sekadar daya tarik. Misalnya, pada rubrik Ngada-Nagekeo disediakan kolom kecil berisi wae sezu (basa-basi) atau tombo-tombo (asal omong) pada rubrik Manggarai Raya atau bua senang mulo (basa-basi) pada rubrik Flores Timur. Hal ini, hemat penulis, memilik daya pikatnya sendiri, karena boleh jadi, dalam 1 hari terbit, seorang penikmat PK akan mengetahui kata ‘tidak tahu’ dalam beberapa bahasa daerah NTT; sonde tau (Timor), toe bae (Manggarai), busa (Bajawa), bebo (Lio) atau te tau (Nagi). Lebih dari pada itu, bagi seorang pedagang labu jepang di Bajawa, misalnya, cerita bersambung dalam wae sezu pada rubrik Ngada-Nagekeo, akan menjadi santapan yang segar dan penuh penasaran. Di sini, wujud praktisitas PK tercium publik. Lalu, dalam komunitas-komunitas yang pluralis seperti biara dan seminari atau kantor-kantor, terbuka ruang untuk belajar bahasa lokal satu sama lain. PK lagi-lagi akan kian dicintai.
Kolom bagi bahasa lokal dalam tiap rubrik, di sisi lain juga hadir sebagai penghibur bagi ‘kegalauan publik’ atas pelbagai penyimpangan di Negeri ini. Lelucon-lelucon, pesan-pesan, dan ajakan-ajakan moral lainnya, sepertinya akan lebih berkekuatan, apabila disajikan dalam bahasa daerah. Ajakan untuk masyarakat Manggarai agar tidak golput, atau bagi masyarakat Ende-Lio untuk memerangi korupsi, misalnya, akan dapat dimengerti secara holistik, jika disajikan sesederhana mungkin, dalam dialek yang praktis mudah dipahami. Dan juga, dengan menggunakan sistem yang sama (pengiriman via e-mail PK), PK sebenarnya telah membuka ruang bagi partisipasi masyarakat. Sehingga, PK tidak hanya memuat konsep-konsep filisofis atau politik atau bisnis, dalam bahasa-bahasa ilmiah yang eksklusif, tetapi juga memuat pikiran-pikiran sederhana dari orang-orang kecil di kampung-kampung. Dengan demikan, PK mendidik, di satu pihak, dan di pihak lain, menghibur. Akhirnya, ‘perkawinan’ antara PK dan Bahasa Lokal, sejatinya akan lebih dari sekadar daya tarik.   PK, pada porsinya, juga menghidupi intisari demokrasi : dari, oleh, dan untuk semua! Sukses selalu buat Kraeng FDA atas perhatiannya bagi NTT dan bahasa lokal, serta SKH PK dalam kontribusinya melestarikan bahasa lokal.***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar