ARTIKEL OPINI
(Pernah dimuat di SKH Pos Kupang, Sabtu, 8 Maret 2014)
Pos Kupang dan Bahasa Lokal
(Lebih
dari Sekadar Daya Tarik)
Oleh
: Reinard L. Meo
Peminat Bahasa Lokal, tinggal di
Wisma Mikhael, Ledalero
Seperti biasa, ruang baca Unit Mikhael Ledalero selalu tak
pernah sepi pengunjung. Penulis dan beberapa teman Frater kemudian dibuat
terperangah, ketika membaca SKHU PK, Sabtu,
1 Maret 2014. Pada halaman 18, rubrik khusus daerah Maumere, terdapat satu
kolom kecil dengan judul kulababong. Lahirnya
kulababong, hemat penulis, tidak
hanya mengisi ‘situasi menjandanya’ tapaleuk,
tetapi lebih dari itu, menjadi indikasi kebangkitan Bahasa Lokal. Setelah
berdiskusi beberapa menit sambil menikmati PK, terbersit dalam benak penulis
untuk menelurkan artikel ini. Apresiasi, revitalisasi, dan anjuran, menjadi
tiga nada dasar yang melatari artikel sederhana ini.
Bahasa Lokal dan Apresiasi buat Florianus
Dus Arifian (FDA)
Kebhinekaan Indonesia,
menjalar sampai ke segala segi kehidupan. Salah satu di antara
multi-keberagaman itu ialah daerah dan budayanya. Hampir pasti, setiap daerah
di Indonesia, memilik budaya dan kekhasannya masing-masing. Bahasa lokal (baca:
bahasa daerah), sebagai ekspresi budaya yang paling konkret, juga turut menjadi
indikasi paling akurat dari setiap daerah, yang membedakan satu dengan yang
lainnya. NTT, sebagai bagian dari Indonesia, turut mempresentasikan realitas
tersebut di atas. Kita mengenal bahasa-bahasa daerah yang amat variatif,
semisal bahasa Tetun, bahasa Dawan, bahasa Manggarai, bahasa Bajawa, bahasa
Ende, bahasa Maumere, bahasa Nagekeo, bahasa Riung, dan bahasa Nagi.
Heterogenitas bahasa ini merupakan kekayaan yang diwariskan turun-temurun, yang
(diharapkan) masih terus dipelihara secara baik
Dua hari berturut-turut
(21 dan 22 Februari 2014), PK
menurunkan artikel FDA, dosen pada STKIP St. Paulus, Ruteng. Sebagai seorang
akademisi, FDA coba memaknai Hari Bahasa Ibu Internasional, dengan sebuah
ajakan sederhana. “NTT, Mari Melestarikan Bahasa Lokal.” Di tengah pusaran
polemik seputar politik, sastra, pemilu, hukuman mati, manipulasi keadilan, bencana
alam, dan KKN, FDA muncul dengan sebuah tawaran baru. Secara sepintas lalu,
memang kedengaran sederhana. Namun, sesungguhnya, inilah seruan profetis
seorang putera NTT, sebuah suara yang cukup signifikan, jika tidak ingin
disebut sebagai realisasi dari nasionalisme. FDA mengangkat kembali urgensi bahasa
lokal, bahasa khas daerah kita masing-masing, dengan memebeberkan nilai-nilai
yang tereksplisit dalam kedaerahan bahasa kita. Dalamnya juga, FDA mengungkit
soal kekeliruan paradigma dan absennya perhatian pemerintah pada bahasa lokal. Bahasa
lokal dibiarkan ‘merana’ hingga akhirnya raib dari panggung dialog publik, dan
kehilangan jati diri. Selanjutnya, FDA mengajak untuk “Melestarikan Bahasa
Lokal dalam Gerakan Kolektif ”. Ajakan yang amat positif dan mendesak,
karenanya, apresiasi patut dialamatkan kepada FDA.
Pos Kupang dan Bahasa Lokal
Paul Bolla (mantan wartawan PK),
dalam opininya (PK, 2 Desember 2013) mengisahkan
lahirnya kolom tapaleuk. Atas
inisiatif Almarhum Julius Syaranamual (seorang dari para fundatores SKH PK), tapaleuk muncul dan tetap eksis hingga
saat ini dalam SKH PK. Pada titik ini, jelas terbaca, perhatian terhadap bahasa
lokal, sejatinya telah sejak lama dirintis PK. FDA kemudian menekankan bahwa tapaleuk bukanlah lelucon belaka,
melainkan ekspresi pembinaan bahasa lokal. Dan PK telah membuktikannya.
Dalam kerangka yang sama, penulis
juga ingin menyoroti aspek edukatif SKH PK. Bahwasannya, sebagai media massa,
PK mempunyai tanggung jawab moral untuk mendidik masyarakat. Bahasa lokal yang
menyimpan banyak nilai dan arti, perlu mendapat tempat yang tepat. Bahasa lokal
sebagai kekayaan dan warisan budaya, mesti mendapat perhatian dari media. Media
terpanggil untuk turut ambil bagian dalam pelestarian kearifan-kearifan lokal. PK,
boleh jadi, berdiri pada garda terdepan dalam upaya merealisasikan tawaran FDA.
Bahasa daerah perlu dilestarikan secara kolektif, dan media adalah mediasinya.
Eksisnya tapaleuk dan kini, munculnya kulababong
(sara Sikka), merupakan secercah harapan yang terbit pada waktu yang sama
sekali belum terlambat. Namun, di tengah konteks heterogenitas daerah di NTT, tapaleuk dan kulababong saja, rasa-rasanya
belum cukup. Penulis coba membeberkan sederetan logika sederhana, sebagai wujud
kecintaan penulis pada bahasa lokal, serentak anjuran bagi daya tarik PK. Jika
rubrik tiap daerah dalam PK, dimuat juga kolom seperti tapaleuk dan kulababong, maka
hal itu akan lebih dari sekadar daya tarik. Misalnya, pada rubrik Ngada-Nagekeo
disediakan kolom kecil berisi wae sezu (basa-basi)
atau tombo-tombo (asal omong) pada rubrik
Manggarai Raya atau bua senang mulo (basa-basi)
pada rubrik Flores Timur. Hal ini, hemat penulis, memilik daya pikatnya
sendiri, karena boleh jadi, dalam 1 hari terbit, seorang penikmat PK akan
mengetahui kata ‘tidak tahu’ dalam beberapa bahasa daerah NTT; sonde tau (Timor), toe bae (Manggarai), busa (Bajawa),
bebo (Lio) atau te tau (Nagi). Lebih dari pada itu, bagi seorang pedagang labu
jepang di Bajawa, misalnya, cerita bersambung dalam wae sezu pada rubrik Ngada-Nagekeo, akan menjadi santapan yang
segar dan penuh penasaran. Di sini, wujud praktisitas PK tercium publik. Lalu,
dalam komunitas-komunitas yang pluralis seperti biara dan seminari atau
kantor-kantor, terbuka ruang untuk belajar bahasa lokal satu sama lain. PK
lagi-lagi akan kian dicintai.
Kolom bagi bahasa lokal dalam tiap rubrik, di sisi lain
juga hadir sebagai penghibur bagi ‘kegalauan publik’ atas pelbagai penyimpangan
di Negeri ini. Lelucon-lelucon, pesan-pesan, dan ajakan-ajakan moral lainnya,
sepertinya akan lebih berkekuatan, apabila disajikan dalam bahasa daerah. Ajakan
untuk masyarakat Manggarai agar tidak golput, atau bagi masyarakat Ende-Lio
untuk memerangi korupsi, misalnya, akan dapat dimengerti secara holistik, jika
disajikan sesederhana mungkin, dalam dialek yang praktis mudah dipahami. Dan
juga, dengan menggunakan sistem yang sama (pengiriman via e-mail PK), PK
sebenarnya telah membuka ruang bagi partisipasi masyarakat. Sehingga, PK tidak
hanya memuat konsep-konsep filisofis atau politik atau bisnis, dalam
bahasa-bahasa ilmiah yang eksklusif, tetapi juga memuat pikiran-pikiran
sederhana dari orang-orang kecil di kampung-kampung. Dengan demikan, PK
mendidik, di satu pihak, dan di pihak lain, menghibur. Akhirnya, ‘perkawinan’
antara PK dan Bahasa Lokal, sejatinya akan lebih dari sekadar daya tarik. PK, pada porsinya, juga menghidupi intisari
demokrasi : dari, oleh, dan untuk semua! Sukses selalu buat Kraeng FDA atas
perhatiannya bagi NTT dan bahasa lokal, serta SKH PK dalam kontribusinya
melestarikan bahasa lokal.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar