MISTISISME
DAN
RELEVANSI FILOSOFISNYA
(Membaca
Arah Refleksi Frederick C. Copleston)
PAPER ILMIAH
Diajukan
sebagai Pemenuhan Mid Semester
Mata
Kuliah Metafisika
Oleh :
Marianus D. Aris Gah (NPM: 13.
75. 5345)
Reinardus L. Meo (NPM : 13. 75.
5370)
SEKOLAH
TINGGI FILSAFAT KATOLIK
LEDALERO
2014
I.
CATATAN AWAL
Frederick Charles Copleston, SJ mendesain sebuah
uraian filosofis-kritis seputar dua mega-tema ini: Agama dan Filsafat. Pada
bagian pertama bukunya itu, Copleston menempatkan sub-tema Relevansi Filosofis
dari Mistisisme setelah panjang lebar menguraikan 4 sub-tema sebelumnya yang
juga akbar yakni Karakter Religius dari Metafisika, Metafisika dan Agama-agama
Historis, Teologi Kristiani dan Metafisika, serta Filsafat Modern dan Agama. Copleston
tentu saja mempunyai suatu alur nalar yang khas. Dan paper sederhana ini coba membaca arah refleksi Copleston tentang
Mistisisme, sembari melacak inti sari dari pertalian yang coba ia rangkai
tersebut.
II.
MISTISISME DAN RELEVANSI FILOSOFISNYA
Copleston membuka uraiannya dengan menggarisbawahi apa yang William James sebut ‘keberagaman pengalaman religius’ dan pelbagai klaim bahwa telah memiliki pengalaman akan Allah atau Yang Mutlak, sebagai dua fakta umum yang dihadapi seorang filsuf ketika hendak terjun dalam suatu studi tentang agama. Kenyataan-kenyataan ini secara empiris menunjukkan bahwa pengalaman akan Allah itu, ada, tetapi tidak serta-merta membuat konklusi bahwa fenomena-fenomena tersebut sama luasnya dengan agama. Selanjutnya, pelbagai pengalaman itu dapat menjadi referensi dalam memulai suatu refleksi atau pencarian. Namun pertanyaannya, apakah ada cara-cara analogis untuk membuat pembuktian atas klaim-klaim itu? Status questiones-nya jelas.
Pertanyaan ini mengantar Copleston menuju mistik atau mistisisme. Menurutnya, mistisisme cenderung menafsir pengalaman dalam hubungannya dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya, sebagaimana yang kerap terjadi di kalangan Kristiani, Hindu, begitu juga Muslim. Namun, bukanlah sebuah ke-otomatis-an apabila hanya dengan membaca tulisan-tulisan mistik, seseorang dapat sampai pada pengalaman murni. Oleh karena itu, setiap argumentasi mistis tentang keberadaan Allah harus dijernihkan. Yang menjadi penting di sini juga ialah pemahaman akan istilah ‘mistik’ yang digunakan oleh para mistikus, yang relatif berbeda satu dengan yang lain. Satu bahaya logis yang rentan ialah upaya mempersempit atau membuat limitasi sedemikian, sehingga perbedaan-perbedaan yang ada dapat diatasi. Kendati ada bahaya macam ini, aneka jenis mistisisme berikut bahaya pereduksian yang mungkin, menurut Copleston, tetap tidak menghalangi kebanyakan orang untuk mengakui bahwa mereka telah mengalami suatu perjumpaan yang intim dengan apa yang mereka yakini sebagai realitas terakhir. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengalaman mistik, dalam kapasitasnya yang khas, ternyata turut berkontribusi dalam membuktikan realitas transenden atau keberadaan Allah.
Refleksi filosofis Copleston ini, perlu dicatat, tidak dimaksudkan untuk secara sepihak menyederhanakan konsep yang amat luas dari pengalaman religius pada umumnya dan mistisisme itu sendiri pada khususnya. Ia coba membahas argumentasi tentang keberadaan Allah, dengan mengambil pengalaman-pengalaman religius sebagai titik tolaknya. Ia tidak membuat suatu penelitian tentang pentingnya mistisisme in se. Hanya apabila mistisisme itu dapat membantu dalam membuat pembuktian tentang adanya Allah, ia menjadi amat penting dan bernilai dalam beragama atau dalam suatu studi tentang agama.
Akhirnya, signifikansi sebuah analogi yang dapat membantu untuk menemukan Allah (yang transenden, yang melampaui genggaman manusia), perlu diperhatikan oleh setiap agama. Mistisisme yang oleh Copleston disebut sebagai salah satu cara analogis tersebut, berdaya mengingatkan. Refleksi mistis mengingatkan kita serentak berfungsi mengarahkan kecenderungan untuk berpikir tentang Tuhan sebagai manusia skala besar. Pada saat yang sama, mistisisme juga menyadarkan kita bahwa transendensi ilahi tidak berarti kesenjangan spasial antara Allah dan manusia, atau jurang menganga yang tidak terjembatani oleh kasih.
III.
MEMBACA ARAH REFLEKSI COPLESTON: BEBERAPA KOMENTAR
RINGAN
a.
Pada tempat
pertama, perlu kami akui bahwa inilah momen yang cukup ‘mengejutkan’,
bahwasannya untuk pertama kalinya kami membaca teks, yang berkaitan dengan
refleksi filosofis, yang disajikan dalam bahasa Inggris. Berbekalkan kemampuan
yang pas-pasan (broken English), kami
mengalami kesulitan yang cukup serius, karena mesti berhadapan dengan teks
klasik seperti ini. Hal ini tentunya berpengaruh juga pada proses penerjemahan,
pemahaman, berikut reformulasi yang kami buat.
b.
Hemat kami,
Pastor Copleston tergolong jenius dalam bidang filsafat, sehingga (meskipun
tidak sepopular filsuf-filsuf lain) ia layak disebut filsuf yang mesti segera
dipopularkan. Alasannya jelas, Copleston memiliki konsep-konsep filosofinya yang
khas dan unik, yang tentu saja berdaya kontributif.
c.
Tema yang kami
garap berkaitan dengan Relevansi Filosofis dari Mistisisme,
sub-tema kelima dari rentetan tema-tema akbar pada bagian pertama buku
Copleston ini. Menjadi jelas bahwa tema yang kami ‘kepung’ ini bertalian erat
dengan 4 tema sebelumnya, atau untuk memahami tema kelima ini, ke-4 tema
sebelumnya mesti terlebih dahulu dipahami, atau malah tema ini menjadi muara
bagi totalitas elaborasi pada bagian pertama buku ini. Sehingga jelas, arah
refleksi Copleston dalam tema ke-5 ini, harus (idealnya) ditelusuri
perlahan-lahan sejak awal pembahasan.
d.
Terlepas dari itu, pemikiran Copleston
tentang mistisisme menarik untuk disimak. Ia menulis, “Mistisisme cenderung
menafsir pengalaman dalam hubungannya dengan kepercayaan yang sudah ada
sebelumnya, sebagaimana yang kerap terjadi di kalangan Kristiani, Hindu, begitu
juga Muslim.” Contoh sederhana yang coba kami buat, misalnya, dengan belajar
dari pengalaman Abraham, umat Kristiani hingga dewasa ini selalu yakin akan
keberadaan Allah, dengan secara kontinu bertumpu pada sabda Rasul Paulus:
‘sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, Abraham berharap juga dan
percaya……….!’ Mistisisme memberi sumbangan yang signifikan, sebagaimana
Copleston, “Mistisisme juga menyadarkan kita bahwa transendensi ilahi tidak
berarti kesenjangan spasial antara Allah dan manusia.”
e.
Akhirnya, refleksi Copleston tentang Relevansi
Filosofis dari Mistisisme mesti dibaca secara luas, membaca sembari
mempertimbangkan atau membuat studi komparatif dengan sumber-sumber lain, dan
terutama, membaca tanpa menciptakan suatu klaim tentang kebenaran yang absah.
IV.
CATATAN AKHIR
Tentu saja, maksud Copleston tidak bisa
diterjemahkan secara sempurna. Namun, poin ini, hemat kami, selalu penting dan
aktual. “Hanya apabila mistisisme itu dapat membantu dalam membuat pembuktian
tentang adanya Allah, ia menjadi amat penting dan bernilai dalam beragama atau
dalam suatu studi tentang agama.” Semoga sajian singkat kami ini berdaya guna.
V.
SUMBER REFERENSI
Copleston, Frederick C. Religion
and Philosophy. Dublin: Gill and Macmillian Ltd, 1974.
Hayong, Bernard. Metafisika.
Di Sekitar Yang Ada (ms). Ledalero, 2013.
http://en.wikipedia.org/wiki/Frederick_Copleston.
http://www.amazon.com/Books_Frederick_Copleston.
VI.
LAMPIRAN (Biodata Singkat)
Frederick
Charles Copleston, SJ adalah seorang imam Jesuit, filsuf, sekaligus sejarawan
filsafat. Copleston lahir di Taunton,
Inggris Raya pada tanggal 10 April 1907. Dari tahun 1920-1925, ia dididik di Marlborough College. Pada
tahun 1929, ia lulus dari Oxford University. Copleston bergabung menjadi calon
imam Jesuit pada tahun 1930, dan ditahbiskan pada tahun 1937 di Heythrop
College. Sepanjang karir akademisnya, Copleston menerima sejumlah peran kehormatan,
di antaranya diangkat menjadi Profesor di Universitas Kepausan Gregoriana, Roma,
setelah tekun mengambil kuliah selama enam bulan setiap tahun, sejak 1952-1968.
Pada 1970, ia diangkat menjadi Fellow British Academy (FBA), dan pada tahun
1972 ia diberi jabatan sebagai guru pribadi di Heythrop College, sejak
didirikan kembali oleh University of London. Pada tahun 1975, ia diangkat
menjadi Fellow Kehormatan St. John College, Oxford. Copleston mengakhiri
hidupnya pada tanggal 3 Februari 1994 di Rumah Sakit St Thomas, London, pada
usia 86 tahun.
Copleston menjadi begitu popular dan
berpengaruh sejak ia menelurkan karya panjangnya dalam Multi-volume Sejarah Filsafat. Situs Amazon.com mencatat beberapa buku karya
Copleston, di antaranya: A History of Philosophy, dari Vol. 1 sampai Vol. 9.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar