Artikel Opini
Perjumpaan antara Pancasila dengan Globalisasi
Oleh Reinard L. Meo
Pada tanggal 18 Agustus 1945, 68 tahun silam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merumuskan dan menetapkan Pancasila sebagai basis negara RI. Sebuah momen historis yang amat menentukan ziarah bangsa hingga saat ini. Dengan itu Pancasila dijadikan sebagai sumber hukum, dasar negara, baik tertulis (UUD 1945) maupun yang tidak tertulis.
Dalam kaitannya dengan sistem hukum dan sistem norma hukum, Pancasila diposisikan oleh para fundator negara ini sebagai ideologi, cita-cita dasar, dan mahasumber hukum (sumber dari segala sumber hukum) negara RI. Hal ini menutup berbagai kemungkinan menyusupnya segala nilai lain yang dapat menggerus nilai-nilai Pancasila. Karena itu, pemerintah perlu menegaskan eksistensi Pancasila itu sendiri. Usaha seperti ini sangat perlu dan penting mengingat potensi bahaya yang muncul. Realitas plural dalam negara Indonesia menuntut adanya suatu nilai tertinggi yang mempersatukan dan mengikat. Melihat realitas seperti ini, maka hemat saya, para fundator negara tepat ketika menjadikan Pancasila sebagai dasar negara.
Dalam perjalanan waktu, usaha untuk merong-rong eksistensi Pancasila selalu bermunculan. Tantangan seperti ini membuat Pancasila terus teruji. Semakin ditantang, Pancasila pun semakin kokoh dan kuat. Pancasila hanya akan tetap kokoh kalau setiap komponen bangsa terus berusaha untuk meningkatkan kesadarannya akan pentingnya Pancasila. Nilai-nilai dasar Pancasila bersifat universal, karena itu kita mesti terus mempertahankannya.
Sebagai dasar negara, Pancasila tidak bersifat tetap, tetapi ia selalu hidup dan dinamis. Hal ini memungkinkan Pancasila dapat mengikuti perubahan zaman/globalisasi dengan baik. Di sini globalisasi tidak mendikte Pancasila, tetapi bahwa Pancasila menyediakan dasar bagi masyarakat atau negara untuk bisa mengikuti perkembangan zaman dengan baik. Di sini juga Pancasila dapat menjadi semacam nilai darinya masyarakat bisa mendapat pedomaan bagaimana cara hidup bermasyarakat dengan realitas plural dan di tengah realitas globalisasi. Dengan ini, kita tidak akan merasa syok atau tercerabut dari budaya atau nilai-nilai dasar kita terhadap invasi budaya dari luar karena pengaruh globalisasi. Dalam konteks ini Pancasila tidak akan pernah bentrok atau menolak globalisasi. Inilah sifat dinamis Pancasila. Karena itu, Pancasila disebut sebagai ideologi yang terbuka.
Gagasan Pancasila sebagai ideologi terbuka itu sendiri berkembang sejak tahun 1985, tetapi semangatnya sudah berkobar sejak Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara. Hal ini memungkinkan diterapkannya sistem demokrasi dalam pemerintahan. Maka dari itu, Pancasila sebagai ideologi
terbuka adalah yang paling tepat diterapkan dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia ini.
Sebagai ideologi terbuka, Pancasila memungkinkan terakomodirnya nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut seperti, Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Pada dasarnya nilai-nilai tersebut adalah sesuatu yang in se dalam masyarakat Indonesia. Dengan dijadikannya Pancasila sebagai ideologi terbuka, maka nilai-nila tersebut mendapat perhatian yang istimewa. Hemat penulis, hal ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan bahwa Pancasila sebagai paham kebangsaan mesti memuat segala hal yang menjadi kekhasan masyarakat. Artinya, Pancasila tidak mengimpor nilai-nilai dari luar untuk ditanamkan dalam masyarakat Indonesia, tetapi ia mengangkat nilai-nilai yang sudah ada di dalam masyarakat dan menjadikannya sebagai sesuatu yang khas Indonesia. Ke-Indonesiaan kita karena itu juga sangat kental karena nilai-nilai tersebut. Namun, nilai-nilai tersebut akan tinggal tetap bila tidak dihidupi oleh warga negara. Nilai-nilai tersebut akan menjadi ‘museum nilai’ jika tidak menjadi ciri khas setiap pribadi masyarakat Indonesia.
Peminggiran akan hal-hal tersebut membuat negara Indonesia jauh dari cita- cita dan semangat ke-Indonesiaan kita. Tidak heran kalau di mana-mana kita menyaksikan bangkitnya fundamentalisme agama, korupsi yang massif baik di kalangan penyelenggara negara (tingkat atas) maupun di tingkat masyarakat akar rumput, aksi kekerasan yang semakin meresahkan masyarakat, pengambilan kebijakan yang membuat masyarakat tetap bergelut dengan masalah kemiskinan, dll. Selain itu, Pancasila sebagai ideologi terbuka juga memiliki nilai instrumental untuk melaksanakan nilai dasar, seperti UUD 1945, UU, Peraturan-peraturan, Ketetapan MPR, atau DPR. Di sini Pancasila menjadi sumber darinya pemerintah atau masyarakat dapat melaksanakan atau mengaktualisasikan segala peraturan yang ada. Dalam konteks ini, pelaksanaan sebuah peraturan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila. Katakan saja, masyarakat dengan mayoritas agama tertentu tidak boleh mengklaim diri sebagai yang benar karena itu yang lain disingkirkan. Hemat penulis, kasus penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Lombok dan Madura yang hingga kini tidak jelas penyelesaiannya terjadi karena nilai-nilai Pancasila belum dijadikan sebagai pedomaan bagi masyarakat dalam hidupnya sehari-hari.
Pancasila juga memiliki nilai praksis. Artinya, cara hidup, pandangan hidup masyarakat dapat menunjukkan suatu penghayatan atas nilai-nilai Pancasila. Nilai praksis akan nyata dalam realitas hidup sehari-hari. Idealnya, suatu nilai berdimensi praksis. Suatu nilai tanpa praksis adalah kosong, tanpa arti. Suatu nilai hanya akan terasa kalau kelihatan buahnya. Buah yang baik karena itu berasal dari pohon yang baik. Karena itu, nilai-nilai Pancasila hanya akan hidup kalau sudah menjelma dalam praktik hidup yang nyata.
Dalam konteks globalisasi dewasa ini yang diwarnai oleh multikulturalitas, keterbukaan ideologi Pancasila juga termasuk keterbukaan dalam menerima unsur-unsur budaya asing, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila (Kaelen, 2002). Masuknya budaya dan nilai-nilai asing akan membuat Pancasila semakin teruji. Hal ini sangat mungkin dengan melihat kenyataan bahwa suatu budaya atau nilai akan teruji kevalidannya kalau tahan uji terhadap nilai-nilai yang lain. Nilai yang tahan uji niscaya akan tetap hidup dan bertahan. Dalam konteks inilah Pancasila akan menunjukkan jati dirinya.
Perjumpaan Pancasila dengan globalisasi akan menghasilkan masyarakat lokal yang berpikir global dan bertindak lokal. Selain itu, perkawinan antara keduanya akan mendamaikan globalitas dan lokalitas. Dalam konteks seperti ini, nilai-nilai Pancasila dapat menjadi ‘hidangan’ yang siap disantap oleh warga negara lain. Maka, Pancasila pun tidak sekadar menyediakan nilai bagi masyarakat
Indonesia sendiri, tetapi juga bagi masyarakat global. Ciri ke-Indonesiaan kita pun (seperti masyarakat yang kental dengan semangat ke-Tuhanan, pluralitas keagamaan, kemanusiaan atau sosialitas/persatuan yang tinggi, praktik demokrasi) akan semakin kental. Kenyataan seperti ini tentu dapat mengharumkan negara Indonesia di mata dunia.
Pancasila sebagai dasar negara yang mengedepankan nilai-nilai universal memungkinkan Pancasila bebas dari sekat-sekat atau batas-batas budaya dan bangsa. Artinya, Pancasila tidak sekadar menjadi nilai bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga bagi semua orang. Dalam konteks ini, Pancasila menjadi rumah bagi semua orang. Di sini Pancasila dapat menjadi suatu ikon darinya semua orang dari berbagai penjuru dunia dapat menimba kekuatan bagi dirinya sendiri maupun bagi suatu hidup bersama. Karena itu, sebagai masyarakat Indonesia kita mesti berbangga memiliki Pancasila. Kebanggan itu mesti terungkap dalam setiap cara hidup seperti toleransi dalam hidup beragama, menjauhi sikap barbarisme (kekerasan), serta tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar