Cerpen Reinard L. Meo*
Segalanya berawal dari tragedi di
rindangnya pu’u meze itu.
Hari
itu hari yang namanya saja tak mau kuhafal. Lebih tepatnya, sengaja tak mau
kuingat, apalagi memungut pena lalu menulis pada diary detail kisah itu. Jika itu terjadi, maka matilah aku sejak
selesai melakukan itu, dibunuh sesal dan sesak gejolak nurani. Sepoi senja yang
bagi kebanyakan bocah kampung merupakan alasan untuk bersembunyi di balik
selimut tebal, tidak berlaku bagiku. Gerah, keringat yang meleleh tak karuan,
ah….panas membara, membakar ubun-ubun, menganak sungai di belahan buah dadaku,
turun hingga perut dan luluh di lipatan lawo,
selanjutnya di seputar selangkang melorot hingga paha dan mata kaki. Sepoi
senja itu sungguh-sungguh petaka bagiku, lebih gila dari badai ’92, lebih kejam
dari hantaman tsunami Aceh. Denyut jantungku berpacu tak terkontrol, deras,
dahsyat, mirip kuda-kuda petarung di lereng Inerie yang terkejut dipacu cemeti.
Berlari, hendak copot jika saja hal itu mungkin.
Hanya aku dan laki-laki itu, pada
sebuah senja di rindang pu’u meze.
Aku perempuan
berparas sederhana, rambutku dipintal seadanya, dilumuri minyak kelapa murni. Kata
segelintir pemuda di kampungku, aku tergolong cantik, padahal untuk mengerti
apa itu cantik, aku mesti mencari dan mencopet waktu untuk sekadar lewat di
depan kantor desa, lalu mencuri pandang sedikit ke arah kaca jendela yang
lebarnya lumayan. Setelah usaha itu pun aku belum paham mengapa aku dikatakan
cantik.
Awalnya
aku ini perempuan yang periang, aktif dalam kegiatan-kegiatan desa, apalagi
jika lapangan volley di kampungku dijejali kaki-kaki pencari keringat. Aku
mencintai permainan itu seperti aku mencintai batang-batang kelapa yang ditanam
nenek-moyang kami yang kini dijadikan tiang bagi jaring panjang itu. Aku gemar
memetik pucuk-pucuk labu jepang sambil kecil-kecil mendengungkan lagu-lagu
daerah, melirik kiri lalu kanan, genit seperlunya pada teman-teman putri yang membopong
daun talas sepulangnya mereka dari ladang. Singkatnya, aku menjalani hari-hari
dengan bebas, plong, hidup, riang,
dan inilah aku. Inilah hidup yang Ema
Dewa berikan padaku melalui rahim ibunda yang telah wafat tiga tahun silam.
Di gubuk kami kini, hanya aku dan ayah. Ayah yang menanjak beruban, dengan
getar suara yang mulai tak teratur. Dan aku, anak perempuan tunggal. Ayah,
bunda, orang-orang sekampung, dan semua laki-laki yang tergila-gila padaku
memanggilku dengan nama Clara.
*******
Sekilas
aku membaca tulisan cukup besar, yang telah lupa kuingat. Aku masuk saja,
mengikuti bimbingan perempuan-perempuan berseragam, hingga aku dipersilahkan
secara sangat sopan, duduk di sebuah kursi bersofa.
“Nona
Clara,…..selamat datang…!” suara seorang dari antara perempuan-perempuan itu
memecah kemapanan galauku. Entah mengapa, perasaanku menjadi kian hiruk dalam pikuk.
“Apa
ini? Mengapa saya di sini? Mau apa mereka pada saya?” tanyaku berkecamuk dalam
hati. Aku masih memilih untuk tunduk, membiarkan rambutku menutup setengah dari
wajahku. Wajah yang kubenci, yang ingin kurobek-robek jika perempuan-perempuan
ini tidak segera datang dan membawaku kemari.
“Nona,
kami hanya ingin membantu Nona, menyelesaikan masalah yang menimpa Nona. Kami
butuh cerita, butuh syering dari Nona, biar kami juga tahu, apa persisnya yang
terjadi. Kami ingin agar Nona segera keluar dari belenggu ini. Kami ingin Nona
bebas lagi seperti dulu, mencumbu kabut yang merayap di lapangan kapela di
kampung Nona, sembari menyanyi bengu rele
kaju sambil membagi senyum pada sesama…”
Aku
menarik nafas dalam-dalam……………
*******
Hanya
aku dan laki-laki itu, pada sebuah senja di rindang pu’u meze.
Tidak
ada siapa-siapa selain kami berdua. Setelah melontarkan pertanyaan yang membuat
rasa hatiku terobrak-abrik, ditariknya aku ke arah belakang pu’u meze itu. Tanpa banyak tanya,
secara amat keji lawo-ku diturunkan,
baju kaus oblongku disingkapnya sambil beberapa kali aku ditonjok lantaran
ingin melawan. Aku sempat berteriak dua kali tetapi sekejap saja sebuah benda
tajam mencumbui perutku. Aku diam seribu bahasa, antara sadar dan ingin mati
saja. Tali kutangku dipotong dan celana dalamku dirobek. Wajah laki-laki itu
mirip singa kelaparan ketika tak sehelai benang pun yang tersisa pada tubuhku.
Aku telanjang, dan dalam kebulatan telanjangku selangkangku terasa begitu
nyeri. Keringat meleleh, membakar ubun-ubun, menganak sungai di belahan buah
dadaku, membasahi sekujur tubuh, padahal sepoi senja itu sebenarnya cukup menjadi
alasan bagiku untuk menambah sebuah jeket agar hangat. Laki-laki itu kian
bergiat dalam aksinya, liar, tak terhentikan ketika mulut besarnya yang berbau
busuk melumat seluruh wajahku. Aku merasakan lendir yang luar biasa jijiknya
menempel pada pipi dan bibirku. Darah bertetesan, buah dadaku diramasnya tanpa
kenal ampun. Kesakitan luar biasa menusuk jiwaku, ketika laki-laki itu
bertambah gairah, bertambah…….bertambah…….bertambah…….dan aku pun terlelap
pingsan.
*******
Bento,
Bentonias. Laki-laki berkumis itu memperkenalkan dirinya sambil membiarkan
telapak tanganku menempel pada telapak tangannya. Rambut keritingnya dipotong
tipis, mirip kepala tentara yang berbaris dalam sebuah apel. Aku tidak pernah
melihat dia, tidak di pasar, tidak di pelataran kantor desa, tidak di sudut
kapela atau di sekeliling Masjid, tidak, tidak pernah ada dalam benak dan
mataku. Waktu itu aku hendak pulang ke rumah, hendak belok ke lorong samping
sekolah, setelah selesai menghadiri RAT Koperasi. Perempuan kampung seperti
kami amat suka mengenakan lawo setiap
ada acara bersama. Tiba-tiba saja suaranya yang superasing menampar
konsentrasiku. Aku sedikit terkejut, lantaran suasana kampung kami di senja itu
seperti kuburan saja. Hampir semua warga kampung menghadiri RAT, dan tentunya
anak-anak yang gemar bermain petak umpet telah bertepi di sekeliling tungku api
sambil tertawa cekikikan.
“Nona……”
Aku
berhenti, membalik badan, melempar senyum, dan menjawab sesopan mungkin. Aku
selalu begitu setiap kali bertemu orang baru.
“Ya
Pak… Selamat sore, apa yang bisa saya bantu?”
“Nona
warga kampung sini? Bisakah Nona menghantar saya ke rumah Pak Kades?”
“Oh…..bisa-bisa,
rumah Bapak Lamber ada di seberang sana, di seberang pu’u meze itu,” lanjutku sambil menunjuk ke arah pu’u meze. “Mari Pak…”
Kami
berjalan dalam kesunyian, sesekali kami terdiam, meski dari tadi Bento yang
selalu mulai dengan pertanyaan demi pertanyaan.
“Nona
sudah bersuami?”
Kali
ini pertanyaan Bento membuat rasa hatiku terobrak-abrik. Tinggal beberapa
langkah lagi kami akan tiba tepat di bawah rindang pu’u meze itu.
Setelah
tragedi di bawah rindang pu’u meze itu,
melupakan hari itu sambil membenci diriku sendiri adalah cara terbaik yang
cukup menghiburku. Aku bukan lagi gadis desa yang suci. Mahkota kegadisanku
telah direnggut. Aku tidak perawan lagi…!
*******
Saat
ayahku mesti mengakhiri penderitaannya, aku sepertinya ingin dimakamkan
hidup-hidup bersama jasadnya. Bukan karena aku ini sebatang kara yang tidak
perawan lagi. Bukan! Bukan pula karena kau bosan menjamu nasib yang sungguh
tidak membawa remah-remah suka cita padaku. Bukan! Lalu mengapa? Jawabannya
sederhana. Di kampung kami, semua acara adat setelah seseorang meninggal, harus
digelar di sekitar pu’u meze yang
rindang itu. Dan persis, harus pada senja hari yang biasanya ramai dengan sepoi
yang berkejaran.
*******
Merinding,
mencekam…! Aku merasa geli, gelisah, kalau-kalau waktu itu sungguh-sungguh mampir.
Ketakutan mahadahsyat tiba-tiba menghantuiku, memenuhi setiap detik ketika aku
hanya duduk saja dan menatap nanar ke arah suatu objek. Segera kuakhiri
penulisan cerpen ini, saat Mama berteriak memanggilku.
“Sandra…..apa
yang kau lakukan di kamar, nak?”
“Menulis
cerpen Ma…” jawabku sembari menutup buku diari dan meyimpannya dalam laci meja
belajar. Bulu kudukku tiba-tiba siaga.
“Lagi-lagi
cerpen lagi. Coba ceritakan sedikit tokoh dan alur ceritanya pada Mama, sayang..!”
Mama memang selalu begitu tiap kali mengetahui kalau aku sedang menulis sebuah
cerpen. Seolah-olah ingin ambil bagian meski pasif.
“Hm….
Mama…” aku merangkul Mama yang sedang menjahit kancing baju seragamku.
“Hehehe….
Pokoknya seru Ma..!” aku mengencangkan pelukanku.
“Hm…..tentang
Clara, Ma, seorang gadis desa yang dirundung ketakutan pada pohon besar dan
sepoi senja, sejak ia diperkosa….”
*******
Mama
terkejut, melepas jarum dan benang yang sedang melilit jarinya, dengan getir
hati yang merajam. Mama teringat kembali akan kisah yang menimpa Mar Tina, sahabatnya,
11 tahun silam. Berlinanglah air mata Mama. Dan sampai saat ini, Mama tidak
ingin, tidak akan pernah ingin membaca cerpenku. Aku juga tidak tahu mengapa. Kini,
ketakutan itu justru balik menghantuiku setiap detik.
Sungguh, mungkin ini yang
namanya fobia akut…!***
(Mikhael, kamar C29, Mei 2014)
Keterangan
Pu’u meze :
pohon besar
Lawo
: kain adat untuk peremuan Bajawa
Ema
Dewa : Tuhan Allah (dalam bahasa
Bajawa)
Bengu
rele kaju : salah satu judul lagu
daerah Bajawa-Nagekeo
*Reinard L. Meo, peminat
sastra, tinggal di Wisma Agustinus, Ledalero.
Mahasiswa pada STFK Ledalero, Maumere 86152, Flores-NTT. E-mail: l.meo_reinard@yahoo.com,
HP: 085 337 228 120.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar