Kamis, 23 April 2015

Fobia Akut
Cerpen Reinard L. Meo*

            Segalanya berawal dari tragedi di rindangnya pu’u meze itu.  
Hari itu hari yang namanya saja tak mau kuhafal. Lebih tepatnya, sengaja tak mau kuingat, apalagi memungut pena lalu menulis pada diary detail kisah itu. Jika itu terjadi, maka matilah aku sejak selesai melakukan itu, dibunuh sesal dan sesak gejolak nurani. Sepoi senja yang bagi kebanyakan bocah kampung merupakan alasan untuk bersembunyi di balik selimut tebal, tidak berlaku bagiku. Gerah, keringat yang meleleh tak karuan, ah….panas membara, membakar ubun-ubun, menganak sungai di belahan buah dadaku, turun hingga perut dan luluh di lipatan lawo, selanjutnya di seputar selangkang melorot hingga paha dan mata kaki. Sepoi senja itu sungguh-sungguh petaka bagiku, lebih gila dari badai ’92, lebih kejam dari hantaman tsunami Aceh. Denyut jantungku berpacu tak terkontrol, deras, dahsyat, mirip kuda-kuda petarung di lereng Inerie yang terkejut dipacu cemeti. Berlari, hendak copot jika saja hal itu mungkin.
            Hanya aku dan laki-laki itu, pada sebuah senja di rindang pu’u meze.
Aku perempuan berparas sederhana, rambutku dipintal seadanya, dilumuri minyak kelapa murni. Kata segelintir pemuda di kampungku, aku tergolong cantik, padahal untuk mengerti apa itu cantik, aku mesti mencari dan mencopet waktu untuk sekadar lewat di depan kantor desa, lalu mencuri pandang sedikit ke arah kaca jendela yang lebarnya lumayan. Setelah usaha itu pun aku belum paham mengapa aku dikatakan cantik.  
Awalnya aku ini perempuan yang periang, aktif dalam kegiatan-kegiatan desa, apalagi jika lapangan volley di kampungku dijejali kaki-kaki pencari keringat. Aku mencintai permainan itu seperti aku mencintai batang-batang kelapa yang ditanam nenek-moyang kami yang kini dijadikan tiang bagi jaring panjang itu. Aku gemar memetik pucuk-pucuk labu jepang sambil kecil-kecil mendengungkan lagu-lagu daerah, melirik kiri lalu kanan, genit seperlunya pada teman-teman putri yang membopong daun talas sepulangnya mereka dari ladang. Singkatnya, aku menjalani hari-hari dengan bebas, plong, hidup, riang, dan inilah aku. Inilah hidup yang Ema Dewa berikan padaku melalui rahim ibunda yang telah wafat tiga tahun silam. Di gubuk kami kini, hanya aku dan ayah. Ayah yang menanjak beruban, dengan getar suara yang mulai tak teratur. Dan aku, anak perempuan tunggal. Ayah, bunda, orang-orang sekampung, dan semua laki-laki yang tergila-gila padaku memanggilku dengan nama Clara.

*******
Sekilas aku membaca tulisan cukup besar, yang telah lupa kuingat. Aku masuk saja, mengikuti bimbingan perempuan-perempuan berseragam, hingga aku dipersilahkan secara sangat sopan, duduk di sebuah kursi bersofa.
“Nona Clara,…..selamat datang…!” suara seorang dari antara perempuan-perempuan itu memecah kemapanan galauku. Entah mengapa, perasaanku menjadi kian hiruk dalam pikuk.
“Apa ini? Mengapa saya di sini? Mau apa mereka pada saya?” tanyaku berkecamuk dalam hati. Aku masih memilih untuk tunduk, membiarkan rambutku menutup setengah dari wajahku. Wajah yang kubenci, yang ingin kurobek-robek jika perempuan-perempuan ini tidak segera datang dan membawaku kemari.
“Nona, kami hanya ingin membantu Nona, menyelesaikan masalah yang menimpa Nona. Kami butuh cerita, butuh syering dari Nona, biar kami juga tahu, apa persisnya yang terjadi. Kami ingin agar Nona segera keluar dari belenggu ini. Kami ingin Nona bebas lagi seperti dulu, mencumbu kabut yang merayap di lapangan kapela di kampung Nona, sembari menyanyi bengu rele kaju sambil membagi senyum pada sesama…”
Aku menarik nafas dalam-dalam……………

*******
Hanya aku dan laki-laki itu, pada sebuah senja di rindang pu’u meze.
Tidak ada siapa-siapa selain kami berdua. Setelah melontarkan pertanyaan yang membuat rasa hatiku terobrak-abrik, ditariknya aku ke arah belakang pu’u meze itu. Tanpa banyak tanya, secara amat keji lawo-ku diturunkan, baju kaus oblongku disingkapnya sambil beberapa kali aku ditonjok lantaran ingin melawan. Aku sempat berteriak dua kali tetapi sekejap saja sebuah benda tajam mencumbui perutku. Aku diam seribu bahasa, antara sadar dan ingin mati saja. Tali kutangku dipotong dan celana dalamku dirobek. Wajah laki-laki itu mirip singa kelaparan ketika tak sehelai benang pun yang tersisa pada tubuhku. Aku telanjang, dan dalam kebulatan telanjangku selangkangku terasa begitu nyeri. Keringat meleleh, membakar ubun-ubun, menganak sungai di belahan buah dadaku, membasahi sekujur tubuh, padahal sepoi senja itu sebenarnya cukup menjadi alasan bagiku untuk menambah sebuah jeket agar hangat. Laki-laki itu kian bergiat dalam aksinya, liar, tak terhentikan ketika mulut besarnya yang berbau busuk melumat seluruh wajahku. Aku merasakan lendir yang luar biasa jijiknya menempel pada pipi dan bibirku. Darah bertetesan, buah dadaku diramasnya tanpa kenal ampun. Kesakitan luar biasa menusuk jiwaku, ketika laki-laki itu bertambah gairah, bertambah…….bertambah…….bertambah…….dan aku pun terlelap pingsan.

*******
Bento, Bentonias. Laki-laki berkumis itu memperkenalkan dirinya sambil membiarkan telapak tanganku menempel pada telapak tangannya. Rambut keritingnya dipotong tipis, mirip kepala tentara yang berbaris dalam sebuah apel. Aku tidak pernah melihat dia, tidak di pasar, tidak di pelataran kantor desa, tidak di sudut kapela atau di sekeliling Masjid, tidak, tidak pernah ada dalam benak dan mataku. Waktu itu aku hendak pulang ke rumah, hendak belok ke lorong samping sekolah, setelah selesai menghadiri RAT Koperasi. Perempuan kampung seperti kami amat suka mengenakan lawo setiap ada acara bersama. Tiba-tiba saja suaranya yang superasing menampar konsentrasiku. Aku sedikit terkejut, lantaran suasana kampung kami di senja itu seperti kuburan saja. Hampir semua warga kampung menghadiri RAT, dan tentunya anak-anak yang gemar bermain petak umpet telah bertepi di sekeliling tungku api sambil tertawa cekikikan.  
“Nona……”                   
Aku berhenti, membalik badan, melempar senyum, dan menjawab sesopan mungkin. Aku selalu begitu setiap kali bertemu orang baru.
“Ya Pak… Selamat sore, apa yang bisa saya bantu?”
“Nona warga kampung sini? Bisakah Nona menghantar saya ke rumah Pak Kades?”
“Oh…..bisa-bisa, rumah Bapak Lamber ada di seberang sana, di seberang pu’u meze itu,” lanjutku sambil menunjuk ke arah pu’u meze. “Mari Pak…”
Kami berjalan dalam kesunyian, sesekali kami terdiam, meski dari tadi Bento yang selalu mulai dengan pertanyaan demi pertanyaan.
“Nona sudah bersuami?”
Kali ini pertanyaan Bento membuat rasa hatiku terobrak-abrik. Tinggal beberapa langkah lagi kami akan tiba tepat di bawah rindang pu’u meze itu.
Setelah tragedi di bawah rindang pu’u meze itu, melupakan hari itu sambil membenci diriku sendiri adalah cara terbaik yang cukup menghiburku. Aku bukan lagi gadis desa yang suci. Mahkota kegadisanku telah direnggut. Aku tidak perawan lagi…!

*******
Saat ayahku mesti mengakhiri penderitaannya, aku sepertinya ingin dimakamkan hidup-hidup bersama jasadnya. Bukan karena aku ini sebatang kara yang tidak perawan lagi. Bukan! Bukan pula karena kau bosan menjamu nasib yang sungguh tidak membawa remah-remah suka cita padaku. Bukan! Lalu mengapa? Jawabannya sederhana. Di kampung kami, semua acara adat setelah seseorang meninggal, harus digelar di sekitar pu’u meze yang rindang itu. Dan persis, harus pada senja hari yang biasanya ramai dengan sepoi yang berkejaran.

*******
Merinding, mencekam…! Aku merasa geli, gelisah, kalau-kalau waktu itu sungguh-sungguh mampir. Ketakutan mahadahsyat tiba-tiba menghantuiku, memenuhi setiap detik ketika aku hanya duduk saja dan menatap nanar ke arah suatu objek. Segera kuakhiri penulisan cerpen ini, saat Mama berteriak memanggilku.
“Sandra…..apa yang kau lakukan di kamar, nak?”
“Menulis cerpen Ma…” jawabku sembari menutup buku diari dan meyimpannya dalam laci meja belajar. Bulu kudukku tiba-tiba siaga.
“Lagi-lagi cerpen lagi. Coba ceritakan sedikit tokoh dan alur ceritanya pada Mama, sayang..!” Mama memang selalu begitu tiap kali mengetahui kalau aku sedang menulis sebuah cerpen. Seolah-olah ingin ambil bagian meski pasif.
“Hm…. Mama…” aku merangkul Mama yang sedang menjahit kancing baju seragamku.
“Hehehe…. Pokoknya seru Ma..!” aku mengencangkan pelukanku.
“Hm…..tentang Clara, Ma, seorang gadis desa yang dirundung ketakutan pada pohon besar dan sepoi senja, sejak ia diperkosa….”
*******
Mama terkejut, melepas jarum dan benang yang sedang melilit jarinya, dengan getir hati yang merajam. Mama teringat kembali akan kisah yang menimpa Mar Tina, sahabatnya, 11 tahun silam. Berlinanglah air mata Mama. Dan sampai saat ini, Mama tidak ingin, tidak akan pernah ingin membaca cerpenku. Aku juga tidak tahu mengapa. Kini, ketakutan itu justru balik menghantuiku setiap detik. 
Sungguh, mungkin ini yang namanya fobia akut…!***                                                    
                                                                                               (Mikhael, kamar C29, Mei 2014)
Keterangan
Pu’u meze : pohon besar
Lawo : kain adat untuk peremuan Bajawa
Ema Dewa : Tuhan Allah (dalam bahasa Bajawa)
Bengu rele kaju : salah satu judul lagu daerah Bajawa-Nagekeo


*Reinard L. Meo, peminat sastra,  tinggal di Wisma Agustinus, Ledalero. Mahasiswa pada STFK Ledalero, Maumere 86152, Flores-NTT. E-mail: l.meo_reinard@yahoo.com, HP: 085 337 228 120.                           

                                                                                                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar