Selasa, 07 April 2015


Fatherless Generation
dan
Kemendesakan Pendidikan Nilai



Oleh: Reinard  L. Meo*



De facto, pengidentikan kaum muda dengan pelbagai bentuk kekacauan atau praksis anarkisme, bukan lagi sesuatu yang keliru atau ‘masih terlalu pagi’. Jika kita merunut kembali realitas belakangan ini, banyak sekali pemberitaan seputar problematika kaum muda yang dilansir oleh media massa. Untuk konteks NTT dan Flores, Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang dan Harian Umum (HU) Flores Pos, dalam bentangan September 2013 sampai Mei 2014, cukup setia membenarkan fakta ini.
Pada September 2013, diberitakan, empat pemuda mabuk yang memalak warga di Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Oebobo, Kupang, diciduk oleh polisi. Selain itu, narkoba juga sudah mulai menggoda para pelajar di Kota Kupang. Lain lagi, di Ende dan Bajawa, para pelajar yang berkeliaran dan ugal-ugalan pada jam sekolah diciduk. Masih pada paruh akhir 2013, dua surat kabar lokal ini terus mengulas pelbagai tindakan aborsi. Di Ruteng, seorang mahasiswi membuang bayinya di saluran irigasi warga, sedangkan di Ende, borok bayi ditemukan sedang dijilat anjing. Sebagai lagu lama, waktu-waktu akhir tahun dan awal tahun baru, di Maumere, kaum muda menjadi begitu akrab dengan tawuran, free sex, bahkan pencurian. Alhasil, penderita HIV/AIDS, hingga pemberitaan terkini, masih didominasi oleh kaum muda. Dan pada Mei 2014, giliran pemberitaan seputar aksi coret-coret dan pesta kelulusan (yang tidak sehat) UN/US, yang memenuhi rubrik-rubrik surat kabar.
Kita sadar, ini hanya beberapa sampel saja yang diangkat, sebagai representasi. Aapabila kita mencacatat semua bentuk anarkisme kaum muda mulai dari Sabang sampai Merauke, bisa kita bayangkan, berapa jumlahnya dan sebesar apa efeknya. Berkaca pada fakta minor ini, kita lantas bertanya, “Ada apa dengan kaum muda kita? Adakah mereka mengalami sebuah ‘kehilangan’? Miriskah kita ketika mengetahui bahwa fakta ini kian sering terjadi di lingkungan hidup dan komunitas Gereja kita?” Tesis utama artikel ini ialah memperkenalkan atau mengangkat kembali terminologi Fatherless Generation sebagai term yang membahasakan realitas yang patut dicemaskan. Setelah itu, pendidikan nilai menjadi poros atau garda terdepan dalam menyembuhkan realitas minor tersebut.
                 
Fatherless Generation: Realitas yang Mencemaskan

Secara harafiah, Fatherless Generation (kata bahasa Inggris) berarti ‘generasi tanpa bapak’. Term atau istilah Fatherless Generation (selanjutnya disingkat FG) ini, menjadi semacam konklusi yang ditarik atau lahir seiring situasi remaja Eropa, beberapa dekade belakangan ini. FG, oleh sebagian orang diklaim sebagai sebuah proses natural remaja sebagai masa transisi, yang sedang dalam proses pencarian identitas. Namun di pihak lain, FG hadir sebagai sebuah realitas yang mencemaskan, sekaligus mensinyalir masyarakat global untuk mulai waspada. Akhir-akhir ini, FG sebagai sebuah realitas yang mencemaskan, telah mengepakkan sayapnya, merambah hampir ke seluruh pelosok dunia, yang mungkin saja belum banyak disadari. Dan harus diakui pula bahwa di Nusantara ini, khususnya NTT dan Flores, virus ini telah mewabah, bahkan daerah kita  masing-masing pun telah terkontaminasi ‘roh jahanam’ ini. Sebuah negasi yang kita bangun untuk menolak fakta ini, mungkin hanyalah usaha pembelaan diri yang keliru. Atau mungkin proyeksi riil dari kesadaran kita yang masih minim.
Secara lebih jauh, secara reflektif, FG mengindikasikan sebuah model hidup yang menolak adanya unsur ‘bapak,’ bahkan memboikot diri terhadap unsur tersebut. ‘Bapak’ dalam pengertian realitas ini bukanlah bapak secara fisik. ‘Bapak’ yang dimaksud, nyata dalam aturan, norma, nilai, petunjuk, arahan, dan bimbingan, yang tidak lain dan tidak bukan ialah sifat-sifat fundamental dalam diri seorang bapak. Kehadiran seorang bapak (secara fisik) tentunya memberi nilai plus (baca: bapak yang mengerti esensi dan eksistensinya). Kita akan memperoleh kekuatan, merasa ada yang melindungi, mengayomi, memberi arah, dapat menemukan motivasi dan inspirasi, serta hal-hal positif lainnya. Namun sayangnya, ada segelintir kaum muda kita yang secara ekstrem dan radikal menolak dunia ‘bapak’ tersebut. Dan yang lebih disayangkan ialah bahwa penolakan itu absolut. Maksudnya, kaum muda memboikot diri terhadap aturan, nilai, norma, dan petunjuk yang konvensional. Inilah ‘kehilangan’ itu. Situasi krisis yang kontra-nilai.
Narkoba, indisipliner, mabuk-mabukan, dan aborsi di tengah kaum muda, merupakan realitas yang patut disayangkan dan tentunya akan sangat mencemaskan. Bagaimana tidak, kaum muda yang dipastikan akan menjadi harapan bangsa dan dunia, perlahan terjerumus dalam kekeliruannya yang fatal. Kaum muda seolah membelokkan keyakinan global yang menomorsatukan mereka sebagai reformator menuju masa depan yang lebih cerah. Kaum muda secara pelan tetapi pasti, menganulir mimpi dunia universal akan adanya generasi-generasi penerus yang mampu mematahkan mitos minor (baca: kemiskinan, eksploitasi, atau penindasan) yang selama ini merajai dunia.
Di satu sisi, FG dikarenakan minimnya kontrol, baik dalam keluarga, sekolah, masyarakat, mungkin juga lembaga-lembaga keagamaan. Figur ‘ayah’ raib, digantikan ayah teknologi dan pengetahuan modern. Minimnya kontrol ini berujung fatal pada pelaksanaan hidup dalam masyarakat tanpa adanya orientasi yang pasti dan positif. ‘Para bapak’ seolah melupakan fungsi dan tanggung jawabnya, yang mengakibatkan anak (kaum muda) kehilangan arah, ibarat kuda liar di padang nan luas. Dan di lain sisi, kaum mudalah yang menolak adanya intervensi. Kaum muda merasa seperti dikekang dan dipenjara apabila terus-menerus dikontrol. Ada yang merasa kedewasaannya diragukan, bilamana terus mendapat bimbingan. Kaum muda menginginkan kebebasan yang terkadang tak dapat dipertanggungjawabkan secara jantan. Menginginkan kreativitas dan hak-haknya tidak dipasung, tetapi kreatif tanpa bimbingan dan hak-hak tidak dioptimalkan semestinya. Kaum muda merasa diri cukup solid dan bisa berdiri sendiri, tetapi tak jarang berujung  pada kehancuran dan pembunuhan diri yang tidak disadari.
Tanpa disadari pula, kaum muda menjadi korban tekhnologi, yang hadir bagaikan musuh dalam selimut. Kesan selama ini, kaum muda kita dimanjakan. Kemudahan-kemudahan yang terus disodorkan zaman, menjerumuskan kaum muda dalam lingkaran mental instan. Segala hal disematkan predikat “enteng-enteng saja”. Jadi, jelaslah bahwa realitas ini sungguh mencemaskan. Cemas yang tidak saja hanya dirasakan oleh kita yang peka serta prihatin akan problematika yang melanda kaum muda, tetapi juga oleh dunia universal.



KEMENDESAKAN PENDIDIKAN NILAI

Dewasa ini, FG telah menjadi gejala destruktif  yang mengglobal. Rasa-rasanya akan sangat sulit bagi kita untuk mengelaknya. Memusnahkannya dalam sekejap, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Membiarkannya tetap bertumbuh fertil pun, hanya akan membawa kehancuran yang makin mematikan. Namun, kita masih mempunyai waktu dan kekuatan untuk meminimalisir gejala destruktif ini. Kita masih punya kesempatan untuk menganalisis secara kritis dan tajam fenomena ini. Kita masih memiliki pelbagai strategi ampuh yang tidak mutlak menghilangkan, tetapi setidaknya dapat mencegah. Sebagai kaum muda sekaligus pemerhati perkembangan kaum muda NTT, penulis menawarkan beberapa langkah antisipatif untuk mengatasi menguatnya fenomena destruktif ini.
Pertama, pendidikan nilai secara berkala, sejak dini. Pendidikan nilai sejak dini ini dapat terjadi pertama dan utama dalam keluarga, selanjutnya sekolah, dan lingkungan masyarakat. Berarti, dalam koteks ini dibutuhkan peran orang tua (parents), guru/pembina, dan tokoh-tokoh masyarakat. Kerja sama yang baik di antara pihak-pihak yang telah disebutkan tadi, akan sangat membantu terutama dalam pembentukan ‘basis’ anak. Pendidikan dimaksud haruslah lebih berorientasi pada penanaman nilai dan moral, serta pembentukan karakter dan penemuan jati diri.
Kedua, pentingnya menghadirkan tokoh-tokoh yang dapat menjadi teladan. Kesan selama ini, kaum muda kehilangan para figur panutan (model figures). Kehadiran figur panutan bagi kaum muda, sekiranya penting yakni sebagai contoh dan tolok ukur yang senantiasa memancarkan nilai-nilai kehidupan. Selanjutnya melalui para model figures ini, kaum muda dapat menimba inspirasi dan motivasi (misalnya: Mendiang Sri Paus St. Yohanes Paulus II, Mother Theresa, dan Paus Fransiskus-skala universal, atau Gus Dur-skala domestik).
Ketiga, pembenahan kembali dalam bidang mass-media. Media, dalam hal-hal tertentu, dapat menjadi problem sekaligus harapan. Kesan minor selama ini, media kita ‘pincang’. Pemberitaan mengenai ‘figur ayah’ jarang sekali diangkat, sehingga kaum muda dan masyarakat umumnya tidak bisa menemukan ‘figur ayah’. Media didominasi oleh pemberitaan yang tidak mendidik (non-edukatif), seperti kekerasan, aski fanatisme dan anarkisme, serta dekadensi moral lainnya.  Pembenahan kembali  dimaksudkan agar media tidak lagi keliru. ‘Figur ayah’ harus lebih sering dipublikasikan, dimasyarakatkan, sehingga media betul-betul menjalankan fungsinya yakni sebagai sarana pendidikan nilai.
Keempat, menghidupkan dan menumbuhkembangkan kaum muda yang bijak, kritis, dan selektif. Strategi keempat ini merupakan bentuk kerinduan dan harapan yang mendunia. Secara tidak langsung hendak menegaskan bahwa semuanya kembali kepada pribadi masing-masing, kepada kaum muda itu sendiri. Sebagai pihak yang diharapkan dan yang kini sedang dalam masa-masa krusial, kaum muda sudah seharusnya dituntut lebih. Kaum muda harus lebih cerdas dalam membaca tanda-tanda zaman. Harus lebih kritis dalam menjawabi setiap tawaran masa. Dan harus lebih selektif dalam mengambil pelbagai keputusan. Basis yang paling kokoh dan solid harus pertama-tama dibangun dalam diri kaum muda itu sendiri.
Akhirnya, apakah Gereja dan agen-agen pastoral lepas tangan? Apakah FG hanya menjadi konsumsi keluarga, sekolah, masyarakat, dan mass-media? Jawabannya tentu tidak! Gereja, melalui karya kategorial kaum muda (penanaman nilai-nilai kekristenan) yang dewasa ini kian gencar dihidupkan, turut terpanggil untuk berkontribusi. Seruan profetis Paus Fransiskus, ”Adalah baik apabila Gereja menjadi kotor dan kumal karena terjun langsung dalam realitas hidup manusia (kaum muda), bukannya membangun kapela kecil yang tertutup”, dapat menjadi semacam inspirasi yang memotivasi Gereja Indonesia, Gereja NTT, dan Gereja Flores. Kemendesakan pendidikan nilai bagi kaum juga menjadi tanggung jawab Gereja, tanggung jawab kita semua.    

*******



(*Reinard L. Meo lahir di Mataloko, Bajawa, 5 Desember 1992.
Saat ini sedang menekuni studi filsafat pada STFK Ledalero, Maumere 86152,
Flores, NTT;
tinggal di Wisma St. Agustinus, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero.
HP: 085 337 228 120, e-mail: l.meo_reinard@yahoo.com. )



Tidak ada komentar:

Posting Komentar