Fatherless Generation
dan
Kemendesakan Pendidikan Nilai
Oleh: Reinard L. Meo*
De facto, pengidentikan
kaum muda dengan pelbagai bentuk kekacauan atau praksis anarkisme, bukan lagi
sesuatu yang keliru atau ‘masih terlalu pagi’. Jika kita merunut kembali
realitas belakangan ini, banyak sekali pemberitaan seputar problematika kaum
muda yang dilansir oleh media massa. Untuk konteks NTT dan Flores, Surat Kabar
Harian (SKH) Pos Kupang dan Harian Umum (HU) Flores Pos, dalam bentangan September 2013 sampai Mei 2014, cukup setia
membenarkan fakta ini.
Pada September 2013, diberitakan, empat pemuda mabuk yang
memalak warga di Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Oebobo, Kupang, diciduk oleh
polisi. Selain itu, narkoba juga sudah mulai menggoda para pelajar di Kota
Kupang. Lain lagi, di Ende dan Bajawa, para pelajar yang berkeliaran dan
ugal-ugalan pada jam sekolah diciduk. Masih pada paruh akhir 2013, dua surat
kabar lokal ini terus mengulas pelbagai tindakan aborsi. Di Ruteng, seorang mahasiswi
membuang bayinya di saluran irigasi warga, sedangkan di Ende, borok bayi
ditemukan sedang dijilat anjing. Sebagai lagu lama, waktu-waktu akhir tahun dan
awal tahun baru, di Maumere, kaum muda menjadi begitu akrab dengan tawuran, free sex, bahkan pencurian. Alhasil, penderita
HIV/AIDS, hingga pemberitaan terkini, masih didominasi oleh kaum muda. Dan pada
Mei 2014, giliran pemberitaan seputar aksi coret-coret dan pesta kelulusan (yang
tidak sehat) UN/US, yang memenuhi rubrik-rubrik surat kabar.
Kita sadar, ini hanya beberapa sampel saja yang diangkat,
sebagai representasi. Aapabila kita mencacatat semua bentuk anarkisme kaum muda
mulai dari Sabang sampai Merauke, bisa kita bayangkan, berapa jumlahnya dan sebesar
apa efeknya. Berkaca pada fakta minor ini, kita lantas bertanya, “Ada apa
dengan kaum muda kita? Adakah mereka mengalami sebuah ‘kehilangan’? Miriskah
kita ketika mengetahui bahwa fakta ini kian sering terjadi di lingkungan hidup dan
komunitas Gereja kita?” Tesis utama artikel ini ialah memperkenalkan atau mengangkat
kembali terminologi Fatherless Generation
sebagai term yang membahasakan realitas yang patut dicemaskan. Setelah itu,
pendidikan nilai menjadi poros atau garda terdepan dalam menyembuhkan realitas
minor tersebut.
Fatherless Generation: Realitas yang Mencemaskan
Secara harafiah, Fatherless
Generation (kata bahasa Inggris) berarti ‘generasi tanpa bapak’. Term atau
istilah Fatherless Generation (selanjutnya
disingkat FG) ini, menjadi semacam konklusi yang ditarik atau lahir seiring
situasi remaja Eropa, beberapa dekade belakangan ini. FG, oleh sebagian orang
diklaim sebagai sebuah proses natural remaja sebagai masa transisi, yang sedang
dalam proses pencarian identitas. Namun di pihak lain, FG hadir sebagai sebuah
realitas yang mencemaskan, sekaligus mensinyalir masyarakat global untuk mulai
waspada. Akhir-akhir ini, FG sebagai
sebuah realitas yang mencemaskan, telah mengepakkan sayapnya, merambah hampir
ke seluruh pelosok dunia, yang mungkin saja belum banyak disadari. Dan harus
diakui pula bahwa di Nusantara ini, khususnya NTT dan Flores, virus ini telah
mewabah, bahkan daerah kita masing-masing
pun telah terkontaminasi ‘roh jahanam’ ini. Sebuah negasi yang kita bangun
untuk menolak fakta ini, mungkin hanyalah usaha pembelaan diri yang keliru.
Atau mungkin proyeksi riil dari kesadaran kita yang masih minim.
Secara lebih jauh, secara reflektif, FG mengindikasikan sebuah model hidup yang menolak adanya unsur
‘bapak,’ bahkan memboikot diri terhadap unsur tersebut. ‘Bapak’ dalam
pengertian realitas ini bukanlah bapak secara fisik. ‘Bapak’ yang dimaksud,
nyata dalam aturan, norma, nilai,
petunjuk, arahan, dan bimbingan, yang tidak lain dan tidak bukan ialah
sifat-sifat fundamental dalam diri seorang bapak. Kehadiran seorang bapak
(secara fisik) tentunya memberi nilai plus (baca: bapak yang mengerti esensi
dan eksistensinya). Kita akan memperoleh kekuatan, merasa ada yang melindungi,
mengayomi, memberi arah, dapat menemukan motivasi dan inspirasi, serta hal-hal
positif lainnya. Namun sayangnya, ada segelintir kaum muda kita yang secara
ekstrem dan radikal menolak dunia ‘bapak’ tersebut. Dan yang lebih disayangkan
ialah bahwa penolakan itu absolut. Maksudnya, kaum muda memboikot diri terhadap
aturan, nilai, norma, dan petunjuk yang konvensional. Inilah ‘kehilangan’ itu. Situasi
krisis yang kontra-nilai.
Narkoba, indisipliner, mabuk-mabukan, dan aborsi di tengah
kaum muda, merupakan realitas yang patut disayangkan dan tentunya akan sangat
mencemaskan. Bagaimana tidak, kaum muda yang dipastikan akan menjadi harapan
bangsa dan dunia, perlahan terjerumus dalam kekeliruannya yang fatal. Kaum muda
seolah membelokkan keyakinan global yang menomorsatukan mereka sebagai
reformator menuju masa depan yang lebih cerah. Kaum muda secara pelan tetapi
pasti, menganulir mimpi dunia universal akan adanya generasi-generasi penerus
yang mampu mematahkan mitos minor (baca: kemiskinan, eksploitasi, atau
penindasan) yang selama ini merajai dunia.
Di satu sisi, FG dikarenakan
minimnya kontrol, baik dalam keluarga, sekolah, masyarakat, mungkin juga
lembaga-lembaga keagamaan. Figur ‘ayah’ raib, digantikan ayah teknologi dan
pengetahuan modern. Minimnya kontrol ini berujung fatal pada pelaksanaan hidup
dalam masyarakat tanpa adanya orientasi yang pasti dan positif. ‘Para bapak’
seolah melupakan fungsi dan tanggung jawabnya, yang mengakibatkan anak (kaum
muda) kehilangan arah, ibarat kuda liar
di padang nan luas. Dan di lain sisi, kaum mudalah yang menolak adanya
intervensi. Kaum muda merasa seperti dikekang dan dipenjara apabila terus-menerus
dikontrol. Ada yang merasa kedewasaannya diragukan, bilamana terus mendapat
bimbingan. Kaum muda menginginkan kebebasan yang terkadang tak dapat
dipertanggungjawabkan secara jantan. Menginginkan kreativitas dan hak-haknya
tidak dipasung, tetapi kreatif tanpa bimbingan dan hak-hak tidak dioptimalkan
semestinya. Kaum muda merasa diri cukup solid dan bisa berdiri sendiri, tetapi
tak jarang berujung pada kehancuran dan
pembunuhan diri yang tidak disadari.
Tanpa disadari pula, kaum muda menjadi korban tekhnologi,
yang hadir bagaikan musuh dalam selimut.
Kesan selama ini, kaum muda kita dimanjakan. Kemudahan-kemudahan yang terus
disodorkan zaman, menjerumuskan kaum muda dalam lingkaran mental instan. Segala
hal disematkan predikat “enteng-enteng
saja”. Jadi, jelaslah bahwa realitas ini sungguh mencemaskan. Cemas yang
tidak saja hanya dirasakan oleh kita yang peka serta prihatin akan problematika
yang melanda kaum muda, tetapi juga oleh dunia universal.
KEMENDESAKAN PENDIDIKAN NILAI
Dewasa ini, FG telah menjadi gejala destruktif yang mengglobal. Rasa-rasanya akan sangat
sulit bagi kita untuk mengelaknya. Memusnahkannya dalam sekejap, tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Membiarkannya tetap bertumbuh fertil pun, hanya akan membawa kehancuran yang
makin mematikan. Namun, kita masih mempunyai waktu dan kekuatan untuk
meminimalisir gejala destruktif ini. Kita masih punya kesempatan untuk
menganalisis secara kritis dan tajam fenomena ini. Kita masih memiliki pelbagai
strategi ampuh yang tidak mutlak menghilangkan, tetapi setidaknya dapat
mencegah. Sebagai kaum muda sekaligus pemerhati perkembangan kaum muda NTT,
penulis menawarkan beberapa langkah antisipatif untuk mengatasi menguatnya
fenomena destruktif ini.
Pertama,
pendidikan nilai secara berkala, sejak dini. Pendidikan nilai sejak dini ini
dapat terjadi pertama dan utama dalam keluarga, selanjutnya sekolah, dan
lingkungan masyarakat. Berarti, dalam koteks ini dibutuhkan peran orang tua (parents), guru/pembina, dan tokoh-tokoh
masyarakat. Kerja sama yang baik di antara pihak-pihak yang telah disebutkan
tadi, akan sangat membantu terutama dalam pembentukan ‘basis’ anak. Pendidikan
dimaksud haruslah lebih berorientasi pada penanaman nilai dan moral, serta
pembentukan karakter dan penemuan jati diri.
Kedua,
pentingnya menghadirkan tokoh-tokoh yang dapat menjadi teladan. Kesan selama
ini, kaum muda kehilangan para figur panutan (model figures). Kehadiran figur panutan bagi kaum muda, sekiranya
penting yakni sebagai contoh dan tolok ukur yang senantiasa memancarkan
nilai-nilai kehidupan. Selanjutnya melalui para model figures ini, kaum muda dapat menimba inspirasi dan motivasi
(misalnya: Mendiang Sri Paus St. Yohanes Paulus II, Mother Theresa, dan Paus
Fransiskus-skala universal, atau Gus
Dur-skala domestik).
Ketiga,
pembenahan kembali dalam bidang mass-media. Media, dalam hal-hal tertentu,
dapat menjadi problem sekaligus harapan. Kesan minor selama ini, media kita
‘pincang’. Pemberitaan mengenai ‘figur ayah’ jarang sekali diangkat, sehingga
kaum muda dan masyarakat umumnya tidak bisa menemukan ‘figur ayah’. Media
didominasi oleh pemberitaan yang tidak mendidik (non-edukatif), seperti
kekerasan, aski fanatisme dan anarkisme, serta dekadensi moral lainnya. Pembenahan kembali dimaksudkan agar media tidak lagi keliru.
‘Figur ayah’ harus lebih sering dipublikasikan, dimasyarakatkan, sehingga media
betul-betul menjalankan fungsinya yakni sebagai sarana pendidikan nilai.
Keempat,
menghidupkan dan menumbuhkembangkan kaum muda yang bijak, kritis, dan selektif.
Strategi keempat ini merupakan bentuk kerinduan dan harapan yang mendunia.
Secara tidak langsung hendak menegaskan bahwa semuanya kembali kepada pribadi
masing-masing, kepada kaum muda itu sendiri. Sebagai pihak yang diharapkan dan
yang kini sedang dalam masa-masa krusial, kaum muda sudah seharusnya dituntut
lebih. Kaum muda harus lebih cerdas dalam membaca tanda-tanda zaman. Harus
lebih kritis dalam menjawabi setiap tawaran masa. Dan harus lebih selektif
dalam mengambil pelbagai keputusan. Basis yang paling kokoh dan solid harus
pertama-tama dibangun dalam diri kaum muda itu sendiri.
Akhirnya, apakah Gereja dan agen-agen pastoral lepas tangan?
Apakah FG hanya menjadi konsumsi keluarga, sekolah, masyarakat, dan mass-media?
Jawabannya tentu tidak! Gereja, melalui karya kategorial kaum muda (penanaman
nilai-nilai kekristenan) yang dewasa ini kian gencar dihidupkan, turut
terpanggil untuk berkontribusi. Seruan profetis Paus Fransiskus, ”Adalah baik
apabila Gereja menjadi kotor dan kumal karena terjun langsung dalam realitas
hidup manusia (kaum muda), bukannya membangun kapela kecil yang tertutup”,
dapat menjadi semacam inspirasi yang memotivasi Gereja Indonesia, Gereja NTT,
dan Gereja Flores. Kemendesakan pendidikan nilai bagi kaum juga menjadi
tanggung jawab Gereja, tanggung jawab kita semua.
*******
(*Reinard
L. Meo lahir di Mataloko, Bajawa, 5 Desember 1992.
Saat ini sedang menekuni studi filsafat
pada STFK Ledalero, Maumere 86152,
Flores, NTT;
tinggal di Wisma St. Agustinus, Seminari
Tinggi St. Paulus Ledalero.
HP: 085 337 228 120, e-mail: l.meo_reinard@yahoo.com. )

Tidak ada komentar:
Posting Komentar