Selasa, 25 November 2014

“Mental Revolusif”

ARTIKEL OPINI

“Mental Revolusif”




Oleh Reinard L. Meo
Anggota KMK Ledalero, tinggal di Wisma Agustinus


“..pada bongkahan subuh yang lewat
dengan fragmen-fragmen doa yang lekat
merembeslah harap yang padat
dari bingkai tekad yang nekat

jika bukan Tuhan yang melukis
sia-sialah indah yang kau cita
pemimpin baru Kau beri
kami…? Ah Tuhan, mari bernegosiasi…

                                                (RLM, 22:10-2014)

            Satu lagi hari bersejarah tertoreh dalam lembaran kitab hidup dan ziarah Bangsa dan Negeri ini, Indonesia tercinta. Presiden ke-7 RI, Joko Widodo dan Wakil Presiden yang sebelumnya pernah menduduki jabatan yang sama, Jusuf Kalla, dilantik secara resmi pada Senin, 20 Oktober 2014 di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Melalui pelbagai media, rakyat di daerah-daerah menyaksikan atmosfer gegap-gempita yang mewarnai hampir seluruh titik penting di Ibukota. J Osdar, Wartawan Istana menulis, “…di depan Istana Merdeka (bukan Istana Negara), Jakarta, berlangsung perhelatan massa rakyat mengantar Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla masuk istana. Suasana ini mirip (tidak persis sama) dengan peristiwa 27 dan 28 Desember 1949 ketika massa rakyat berada di lapangan yang kini menjadi halaman Tugu Monas, Jakarta……” (Kompas, 20 Oktober 2014). Di areal Monumen Nasional, warga yang tidak terdeteksi kuantitasnya berkerumun menyaksikan pementasan kesenian tradisional, konser akbar digelar, pedagang kaki lima dan barang dagangannya ikut ambil bagian. Rakyat di luar kota, di Bandung misalnya, turut bersuka cita dengan seragam putih-putih. Mereka melepas balon-balon putih yang bertuliskan harapan-harapan, putih yang melambangkan kesucian. Pendek kata, bersamaan dengan pelantikan dua nahkoda Bangsa ini untuk periode 2014-2019, rakyat turut berpesta. Pelantikan keduanya membersitkan daya yang mempersatukan, para presiden terdahulu, semua ketua umum partai politik, juga banyak pemimpin Negara turut hadir.

Dari Revolusi Mental menuju Mental Revolusif
            Karlina Rohima Supelli atau lebih dikenal sebagai Karlina Supelli, salah satu filsuf perempuan Indonesia, melalui Sesawi.Net, 16 Juni 2014, menulis tentang ‘Revolusi Mental’. Pada bagian prolog dari tulisannya, beliau menekankan pentingnya memahami ‘Revolusi Mental’. Beliau menyebutkan bahwa istilah ‘Revolusi Mental’ banyak dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu terjadi di dunia Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme maupun (Zen) Buddhisme. Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini dalam pidatonya pada 17 Agustus 1956.
            Maju pada bagian operasionalisasinya, ‘Revolusi Mental’ melibatkan semacam strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan dimaksud berisikan haluan umum yang berperan memberi arah bagaimana kebudayaan akan ditangani, supaya tercapai kemaslahatan hidup berbangsa. Strategi berisi visi dan haluan dasar yang dilaksanakan berdasarkan tahapan, target setiap tahap, langkah pencapaian dan metode evaluasinya. Jadi, untuk agenda ‘Revolusi Mental’, kebudayaan mesti dipahami bukan sekadar sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagai corak atau cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam tindakan, praktik dan kebiasaan hidup sehari-hari. Hanya dengan itu, ‘Revolusi Mental’ memang akan menjadi wahana melahirkan Indonesia baru.
Dari rahim konsep yang demikian ideal inilah, Jokowi lahir, tepatnya Jokowi hidupi. Sejak masih menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI, Jokowi secara konsekuen menterjemahkan konsep ini menuju praksis nyata yang teruji, inspiratif. Bahkan, ketika hendak maju menuju kursi kepresidenan, Jokowi (dan JK) menggunakan seruan profetis ini, ‘Revolusi Mental’, sebagai spirit menuju Indonesia Baru. Spirit ‘Revolusi Mental’ yang termanifestasi dalam praktik blusukan, dialog dengan orang-orang kecil, dialog interreligius, dialog inter-parpol, hingga program-program kerja konkret yang pro-rakyat, menjadi garansi yang cukup menjanjikan. ‘Revolusi Mental’ yang tentunya dipelajari secara tekun dan teliti oleh Jokowi (belajar dari Bung Karno) sukses membentuk pribadi sederhana ini menjadi Putera terbaik Indonesia dengan mental yang revolusif. Perlu saya garis bawahi, ‘Revolusi Mental’ (yang semulanya adalah konsep idealis) mesti menjelma secara radikal dan holistik ke dalam diri kita masing-masing sebagai Bangsa Indonesia. “..pemimpin baru Kau beri. kami…? Ah Tuhan, mari bernegosiasi…” Mental Revolusif macam mana?

Bekerja, Bekerja, dan Bekerja
            Litbang Kompas melansir beberapa kata yang diulang berkali-kali oleh Presiden bermental revolusif, Jokowi, dalam pidato perdananya seusai mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden ke-7 RI. Menurut ilmu Retorika, setiap pengulangan sebagai seni dalam berpidato, berarti penegasan, penggarisbawahan, bukannya pengulangan yang tidak perlu. Jokowi menyebut ‘Bekerja Keras’ sebanyak 8 kali, ‘Gotong Royong’ sebanyak 4 kali, dan ‘Bekerja, Bekerja, Bekerja’ sebanyak 3 kali. Berarti Jokowi mengulang kata-kata yang bermakna sama dan satu itu, sebanyak 15 kali. Kerja keras, persatuan, dan gotong royong, ditegaskan kembali (repenetrasi) oleh Jokowi sebagai modal penting guna mewujudkan RI sebagai bangsa besar yang (1) berdaulat dalam politik, (2) berdikari dalam ekonomi, dan (3) berkepribadian dalam bidang budaya. Tiga modal atau prinsip inilah yang sejak lama dikenal sebagai Trisakti Bung Karno.
            Jawaban atas pertanyaan ‘Mental Revolusif macam mana?’ terejawantah secara detail oleh Jokowi. ‘Mental Revolusif’ tidak lain dan tidak bukan adalah mentalitas kerja. Secara antropologis, Harsojo (Pengantar Antropologi, 1986) menegaskan hakikat manusia sebagai homo faber, manusia yang berkarsa dan berkarya. Homo faber mengindikasikan keistimewahan dan superioritas manusia atas makhluk infra-human lainnya. Superioritas itu terletak pada dikaruniainya akal budi atau ratio pada manusia (Raymundus R. Blolong, 2012:177-178). Ratio, hemat saya, adalah salah satu instrument hakiki sebagai hasil dari negosiasi Tuhan dengan kita. Dan secara praktis-operasional, Jokowi mengajak, menunjukkan, dan meyakinkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa (yang mesti) bermental revolusif, bangsa yang sungguh-sungguh menghayati esensi dan eksistensi diri sebagai homo faber menuju Indonesia Baru.

Mental Revolusif adalah Kita
            Secara serempak dan fasih, seruan ‘Jokowi-JK adalah Kita’ sambil mengangkat 2 jari, menjadi seruan yang mungkin paling banyak diserukan oleh semua pendukung Capres dan Cawapres nomor urut 2 ini, selama masa kampanyenya. Hingga ke pelosok kampung-kampung, anak-anak kecil pun secara gembira menyerukan ‘Jokowi-JK adalah Kita’. Apa arti seruan ini? Mari melihat dengan mata baru. Secara biologis-fisik-ragawi, kita tidak akan pernah sama seperti Jokowi-JK, meskipun kini mereka telah menjadi pemimpin kita. Namun, seruan ini didesain sedemikian agar kita meneladani mental revolusif, mental kerja yang telah dihidupi oleh Jokowi-JK. Seperlunya kini, saya mengubah ‘Mental Jokowi-JK adalah Mental Kita.’ Sebab jika tidak, sampai kapan pun, istilah dan praktik blusukan akan tetap menjadi milik Jokowi-JK semata-mata. Apa itu mental revolusif, apa itu blusukan, jika para pemimpin di daerah-daerah kita tetap berlaku arogan, tetap korup, tetap nepotis, tetap tidak demokratis, tetap bergaya dalam mobil mewah dengan kaca tertutup di hadapan persoalan tambang, di hadapan isu gender, di hadapan praksis human trafficking, di hadapan kemiskinan, keterbelakangan dalam bidang pendidikan, ekonomi, budaya, pariwisata dan kreativitas kaum muda? Apa itu mental revolusif jika rakyat terus bermalas-malasan, jika para mahasiswa dan cendekiawan terus nyaman dalam menara gading ilmunya? Mental Revolusif adalah Kita. Kita adalah Kerja. Kita adalah Blusukan. Pemimpin bekerja, rakyat bekerja, Indonesia semakin jaya.

“..pada bongkahan subuh yang lewat
dengan fragmen-fragmen doa yang lekat
merembeslah harap yang padat
dari bingkai tekad yang nekat….

Selamat bekerja Jokowi-JK, selamat bekerja rakyat Indonesia…!*


Rabu, 28 Mei 2014

Puisi dalam Refleksi Kahlil Gibran

Diterbitkan dalam Flores Pos, 20 Mei 2014

20 Mei 2014 pukul 16:56
SERBANEKA


                                      Puisi dalam  Refleksi Kahlil Gibran
                                                                  

                                                    Oleh Reinard L. Meo

                                                       Peminat Sastra,
                                       Tinggal di Wisma Mikhael, Ledalero


Menyegarkan Memori akan Gibran

          KAHLIL GIBRAN. Kedengarannya, nama ini lebih tua dari dunia syair atau sastra itu sendiri. Gibran adalah seorang penyair legendaris asal Libanon atau yang familiar denganpsedoname ‘Sang Nabi dari Libanon’. Gibran lahir di sebuah desa bernama Besharri, Libanon Utara, 6 Januari 1883. Semasa hidupnya, dalam rentangan waktu 48 tahun, sastrawan perantauan (Mahjar) ini gemar ‘bertamasya,’ berziarah dari kota ke kota, hingga Boston dan Paris, sampai ia wafat pada 10 April 1931 di New York City, Amerika Serikat. Dalam totalitas ziarah hidup dan batinnya, Gibran berjumpa dengan pluralitas factumkosmologi dan perihidup manusia serta ragam nilai dan heterogenitas transformasi. Kesemuanya itu sukses menginspirasi dan mendongkrak Gibran dalam menelurkan multikarya monumental nomer wahid, dalam pelbagai tema yang diusungnya, meskipun yang identik dengan Gibran ialah syair-syairnya tentang Cinta. Gibran menulis, “Bila cinta mendatangimu, ikuti dia; walaupun jalannya sulit dan terjal” (Gibran, Syair-syair Cinta, 2009).

          Refleksi ini, pertama-tama saya buat dalam upaya menyegarkan kembali memori para pencinta sastra akan Gibran, sosok fenomenal yang telah menginspirasi banyak orang di dunia. Bahwasannya, jauh sebelum penyair-penyair lainnya lahir, terutama penyair-penyair Nusantara (umumnya) dan NTT (khususnya), Gibran telah lebih dahulu meletakkan ‘fondasi sastra’ dan ‘jurus-jurus yang mumpuni’ dalam merangkai kata. Adalah sebuah mega-bohong jika penyair-penyair yang lahir kemudian (sampai kita sekarang ini), tidak belajar (setidak-tidaknya membaca karya) dari Gibran, sehingga uraian ini pula dimaksudkan untuk meremajakan kembali mahakarya klasik itu. Setelah itu, titik tolak utama refleksi ini juga ialah ‘melacak’ (tentunya tidak sampai tuntas dan sempurna) makna Puisi dalam fragmen refleksi Gibran. Mari kita memulai penjelajahan ‘nakal’ ini.

‘Penyair dan Puisinya’ dalam ‘Antara anak Dewa dan anak Monyet’

          Anthony R. Ferris berhasil menerjemahkan karya klasik Gibran yang semulanya berbahasa Arab ke bahasa Inggris. Karya yang berjudul Thoughts and Meditations ini dialihbahasakan lagi ke bahasa Indonesia, dan salah satu judul karya diambil menjadi judul baru buku itu, yakni ‘Antara anak Dewa dan anak Monyet’. Pada sebuah kesempatan yang tidak terencana, seorang sahabat mahasiswi (Nona Imeld) menawarkan buku kecil itu kepada saya. Saya tertarik dan mulai ‘melumat’ perlahan-lahan buah renung dan gaya Gibran menghipnotis dengan rentetan sabdanya itu, seiring masa Prapaskah yang tengah bergulir. Banyak kejutan yang saya jumpai, mulai dari ‘gelitikan’ sampai ‘tamparan’, dari ironisme sampai optimisme, dari ‘akar rumput’ sampai ‘ranjang permaisuri’, dari baju zirah hingga ‘tanpa sehelai benang pun’, pria-wanita, dewa-hamba, dan dari janin hingga wafat dalam ketuarentaan digigit keburukan (malum) dan derita (passio). Alih-alih terbius pada setiap detail Gibran bertutur, saya justru ‘jatuh hati’ pada karya kedua dari akhir buku itu. Berikut ini kutipan dari ‘Penyair dan Puisinya’ yang akan saya ‘bedah’ lebih lanjut.

Puisi, o karibku yang tersayang, adalah wujud senyum yang suci/ Puisi adalah desau yang mengeringkan air mata/
Puisi adalah roh yang tinggal di dalam jiwa, baginya hati adalah santapan, kasih sayang adalah anggurnya/
Puisi yang tidak seperti ini adalah mesiah yang keliru.

Makna Puisi dalam Teks Gibran dan Konteks Kita

          Gibran memulai ‘Penyair dan Puisinya’ dengan pengandaian ini. “Jika para penyair membayangkan apa yang akan terjadi kelak dengan untaian bait puisi dan stanzanya yang jelas iramanya, mereka akan merobek-robeknya.” Dapat dibaca, betapa Puisi yang baik adalah Puisi yang ditelurkan oleh Penyair yang bebas, yang diberi hak untuk keluar dari batas-batas bahasa, oleh sebab licentia poetica. Kebebasan itu lebih lanjut dipahami dalam artian (seperti refleksi filosofis Inho Loe), Puisi pada hakikatnya tidak didasari pada sebuah ideologi, sebuah muatan politis, juga seruan agama, atau motivasi lainnya. Sehingga, ruang bagi setiap orang untuk menjadi Penyair, sejatinya terbuka lebar, dan tidak ada dogma khusus yang membatasi panggilan bersastra. Bagi Gibran, Penyair yang “mengetahui bahwa puisi mereka akan menjadi anjing piaraan orang-orang kaya, akan meninggalkan keluarganya untuk berusaha mati-matian menyelamatkannya, jangan sampai hal itu terjadi.” Seorang Penyair sejati membiarkan diri dipimpin oleh roh sastra, dibimbing oleh ajakan realitas, dan ditarik oleh nilai-nilai kehidupan. Sehingga, entah karya reflektif a la Gibran dan Rendra, ‘ringan dan gurih’ a la Joko Pinurbo, meditatif dan situasional a la P. Leo Kleden SVD dan Frans Anggal, atau ‘tajam dan merangsang’ a la P. Milto Seran, SVD, Kristo Suhardi, Mario F. Lawi, dan Hans Hayon, semuanya sama-sama berkualitas dan menyampaikan multipesan. Jika kita berkesempatan bertanya pada mereka, tentunya mereka tidak pernah ‘merobek’ karya mereka sendiri, jika sekadar ‘mencoret’ itu pernah dilakukan. Ditilik dari perspektif ini, sesungguhnya dari Rahim Ledalero (mungkin juga Rahim komunitas-komunitas lain), telah lahir beratus-ratus Penyair. Kendalanya, belum optimis untuk ‘unjuk gigi’ serta media publikasi masih terbatas dan sentralistis.

           Kita beralih ke Puisi. Adalah ekspresi keintiman luar biasa apabila Gibran menyapa Puisi sebagai ‘karibku yang tersayang’. Gibran mempersonifikasikan Puisi, yang karena alam ‘bebas’ seorang Penyair, Puisi menjadi rekan tutur, tempat berbagi kisah, dan saling merealisasikan kasih, yang selalu tampak dengan senyum yang suci. Puisi yang keluar dari kedalaman jiwa, dari refleksi yang tekun, dan dari pergulatan yang serius, oleh Gibran dapat menjadi desau yang mengeringkan air mata. Puisi, dalam tesis ini, lebih dari sekadar memberi ‘alternatif rasa’. Artinya, tidak hanya ‘membebaskan’ Penyair dari ‘rasanya’, Puisi juga turut ‘membebaskan’ mereka kepada ‘rasa baru’, darinya Puisi itu lahir dan kepada siapa Puisi itu dialamatkan. Saya teringat akan karya-karya perjuangan para Penyair angkatan awal kemerdekaan RI, atau karya-karya kita yang bertemakan Pengungsi PaluE, jeritan anak-anak SOS, kemiskinan, human trafficking, prostitusi, KKN, mafia, pemilu, partai dan politisi busuk, serta rezim yang buruk. Karya-karya kita ini memang mumpuni dalammengeringkan air mata (memoria passionis korban). Puisi, sejujurnya, mesti patuh di bawah prinsip dulce et utile.

          Puisi adalah juga sebuah spirit, luapan isi hati, dan anggur yang merembes. Kesemuanya ini merujuk tepat pada signifikansi Puisi, pada daya kreasi yang dimungkinkan Puisi, dan pada upaya-upaya pembaharuan yang dimotori juga oleh Puisi. Saya lantas terpaut pada dua musisi legendaris kita, Iwan Fals dan Ebiet G. Ade. Hampir seluruh karya mereka dalam bentuk lagu, dapat saya sebut sebagai wujud radikal dari musikalisasi Puisi. Artinya, jika tidak di-lagu-kan atau dinyanyikan sekalipun, syair-syair mereka tetap merupakan Puisi yang keluar dari hati, ibarat anggur yang menyegarkan, dan pada gilirannya spirit yang menginspirasi banyak gerakan pembaharuan. Perkawinan antara ‘kebebasan’ Penyair dan sebuah realitas, sejatinya memperanakkan rupa-rupa kejutan.

          Terakhir, Gibran menutup dengan paradigma yang mesti diperhatikan secara serius.“Puisi yang tidak seperti ini adalah mesiah yang keliru.” Saya sempat dibuat bingung pada awal membaca teks ini. Namun, segera tersibak selubung yang bisa dikatakan kontradiktif dengan elaborasi saya sebelumnya, bahwa tidak ada dogma khusus yang membatasi panggilan bersastra. Ketika ditelusuri, Gibran benar dalam hal ini. Mesiah, karena ditulis dalam huruf kecil, saya artikan sebagai tuan (Penyair) bukannya Tuhan. Panggilan bersastra yang terbuka lebar untuk siapa saja, mesti dibarengi dengan kualitas karya (Puisi) yang oleh Gibran disebut sebagai wujud senyum yang suci, desau yang mengeringkan air mata, dan roh yang tinggal di dalam jiwa. Jika tidak demikian, Penyair (oleh Gibran) masihlah keliru. Korelasi ini, lantas membenarkan fakta bahwa sekalipun tidak ada dogma, setiap orang belum tentu dapat menjadi ‘mesiah yang tidak keliru’. Kadang-kadang, optimisme dan media publikasi tidak bisa sekejap dipersalahkan, apabila kita sepertinya merasa ‘terkubur dalam diari sendiri’ dan ‘karya-karya kita tidak kunjung diterbitkan surat kabar’. Setiap Penyair, mesti juga terlebih dahulu ‘mercoret dan jika perlu merobek’ Puisinya, apabila belum memenuhi ‘nasihat’ Gibran. Artinya juga, kunci utama menjadi seorang Penyair adalah kerendahan hati.

Bertumbuh dalam Proses

Sekalipun sukses menjejaki setiap detail ‘nasihat’ Gibran, menjadi Penyair tetap merupakan sebuah ‘panggilan jiwa’. Berarti, seperti yang telah dikatakan pada awal, uraian saya ini pertama-tama untuk meremajakan mahakarya Gibran serentak mengajak kita, para pemula. Mungkin masih ada patokan lain, dan jelas bahwa ‘nasihat’ Gibran bukan pula sebuah kemutlakkan. Afirmasi atau negasi, antitesis dan sintesis, terbuka lebar bagi yang ingin merespons uraian ini. Oleh karena itu, seperti halnya iman, Puisi yang berkualitas dan Penyair ‘yang tidak keliru’ juga bertumbuh dalam proses. Pentanyaannya, apakah kita berani ‘menggugat diri’ dan ‘berani menjamu pertentangan-pertentangan’ yang disodorkan realitas? Meminjam Alexander Sergejewitsj Pusjkin, penyair Rusia dalam Kepada Penyair,

“Sempurnakan kuntum  indah dari mimpi-mimpimu,
tapi jangan harap puji atas buah ciptamu!”

*** 


 Tambahan

-SEMBAYANG MALAM-

YAHWE yang kelebihan selimut,
aku kedinginan.
Amin. Maaf.

(leda-logos, 19 mei 2014)

Minggu, 04 Mei 2014

Pernah diterbitkan di Harian Umum Flores Pos, Jumat, 2 Mei 2014

ARTIKEL OPINI

Optimisme Bayangan versus Skandal Pascapileg
(Catatan seputar Pelaksanaan Pemilu di Sikka)

Oleh Reinard L. Meo
Anggota Kelompok Menulis Koran (KMK)  Ledalero, 
tinggal di Wisma Mikhael

            Pemilu Legislatif (Pileg) baru saja dipentaskan. Rabu, 9 April yang lalu, seluruh rakyat Indonesia di pelbagai sudut, dibius oleh pesona Pemilu. Kota Ruteng yang selalu ramai, dikabarkan seolah ‘mati’ oleh karena Pemilu. Kantor-kantor pemerintahan ‘ditutup’, sekolah-sekolah ‘disegel’, bahkan komunitas-komunitas biara pun turut menambah agenda baru, yakni ‘ke TPS’. Kita berharap, semoga tidak ada satu media pun yang mengangkat, apabila pasien-pasien di rumah sakit tidak dilayani dan umat Kristiani ‘istirahat’ berpuasa karena sedang ada Pemilu. Sampai pada titik ini, tidak ada yang lebih hebat dari Pemilu. Pemilu selalu menciptakan satu hari libur nasional (meski tanggalnya selalu berubah-ubah), sukses membongkar sekat (break the limit), mampu melampaui eksklusivitas suku, agama, golongan, dan profesi serta rutinitas baku.

Sinyal Mulai Menyala

            Salah satu butir aturan main yang berlaku di TPS 5, Dapil II, Kabupaten Sikka ialah pencoblosan berlangsung dari pukul 7 pagi hingga 1 siang.  Alih-alih belum juga sampai hingga batas waktu, sinyal-sinyal mulai menyala. Semua orang yakin, internet dapat menjadi sumber informasi terakurat, meskipun semua orang juga sadar, di banyak tempat lain, pencoblosan sedang berlangsung. Quick count yang disajikan pelbagai lembaga survei membangkitkan setidak-tidaknya dua perasaan dominan, yakni pesimis dan optimis. Hingga Jumat, 11 April 2014, hasil hitung cepat dari tiga sumber terpercaya, memberi sinyal yang cukup terang. Koran Kompas mengunggulkan PDIP, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menempatkan Golkar pada posisi kedua setelah PDIP, dan Lembaga Survei Cyrus (CSIS) memastikan Gerindra pada posisi ketiga setelah dua parpol yang telah disebutkan tadi.

            Sinyal berikut menyala lagi. Hasil hitung cepat Kompas dengan jumlah sampel 90 persen, tetap tidak merubah posisi tiga besar seperti hari kemarinnya. Jokowi dikabarkan lesu lantaran perolehan suara masih jauh di bawah target. Sinyal yang cukup ironis, gejala psikologis yang tidak biasa, salah satu bukti bahwa kekuasaan selalu meninggalkan rasa tidak puas. Pesimis meski duduk di peringkat teratas. Sinyal lain menyala dari kubu Golkar. Ketua umumnya, Ical, langsung memberi selamat kepada PDIP. Dan terakhir, sinyal yang tentunya paling menarik untuk disimak, PDIP condong berkoalisi dengan PKB dan Nasdem. PKB menyodorkan JK, Mahfud MD, dan Bang Rhoma untuk ‘kawin’ dengan Jokowi. Entah pada level nasional maupun lokal, banyak sinyal menyala cepat. Pesimisme beradu dengan optimisme, lantaran banyak pihak yang tentunya mesti kecewa, resah, skeptis, was-was, bahkan kalah taruhan, di samping gelagat euforia yang mulai mencuat.

Sinyal Buruk datang dari Sikka

            Di tengah optimisme PDIP dan pelbagai macam euforia lainnya, sinyal buruk terpancar dari Sikka. Memang, di banyak tempat dan TPS juga terjadi ‘skandal pileg’. Namun, melalui artikel ini penulis menyoroti problematika pelaksanaan pileg di Sikka, dengan mengangkat soal kinerja KPUD yang kurang profesional, sebagai tesis utamanya. Skeptisisme segera terformulasi ketika mengikuti pemberitaan seputar pileg dan mendapati adanya ‘skandal’. Waktu pascapileg belum saja berlalu hingga seminggu, masalah telah timbul.

            Sesuai teori demokrasi klasik, Pemilu merupakan ‘transmission of belt’, kesempatan bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam politik, dan sebagai salah satu wujud demokratisasi. Namun dalam praksis, pileg kali ini justru menciptakan masalah baru. Pemilu bukan lagi diidealkan sebagai momentum untuk menentuhkan arah hidup berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik oleh sebab keterlibatan rakyat, malah sebaliknya kian suram dan busuk. Indikasi kesuraman itu segera terbaca oleh Bawaslu NTT. KPUD Sikka dinilai kurang becus, gagal, dan melanggar asas Pemilu. Rakyat di 25 TPS tidak dapat menggelar pencoblosan, belum mengafirmasi kedaulatannya, dan panitia tertunda menerima ‘gaji’, lantaran surat suara tertukar, rusak, kurang, dan hilang. Logistik pileg yang sudah diturunkan ditarik kembali, anggaran pileg yang telah ditetapkan diralat lagi.

Pro Pengusutan

            Pelaksanaan pileg di Sikka melahirkan tanda tanya besar. Banyak pihak mulai bertanya-tanya, rakyat mulai saling berbisik, anjing pelacak mulai mengendus, hermeneutika atas fenomena yang ditampakkan mulai digagas, bahkan para caleg sendiri pun mulai gerah. Argumentasi yang dipakai Bawaslu sudah sepantasnya diafirmasi dan didukung. De jure dan de facto, KPU Sikka terbukti ‘menodai’ harapan banyak pihak. Pileg yang dikonsepkan berlangsung dan selesai pada 9 April, mesti digeser lagi ke 14 April. Salah satu hipotesa dari hermeneutika yang telah digagas ialah hal ini berdampak pada dana yang telah ditargetkan terpaksa dirombak ulang. Dugaan pelanggaran asas Pemilu yang dipentaskan, selanjutnya mengganggu tahapan Pemilu. Di banyak tempat saja hasil Pemilu belum selesai dihitung, 25 TPS di Sikka malah belum menyelenggarakan pencoblosan.
            Terkait skandal ini, apresiasi patut dialamatkan kepada Bawaslu NTT dan pimpinan TNI-Polri di Sikka. Kesigapan menanggapi kepincangan melalui langkah hukum yang ditempuh Bawaslu dengan mengundang KPUD Sikka dan jaringan ad hoc­-nya termasuk sekretariat KPUD untuk dimintai keterangan, perlu didukung dan dinantikan hasilnya. Respons pimpinan TNI-Polri juga patut diacungkan jempol. Kendatipun berperan sebagai ‘kulit luar’ dalam pelaksanaan pileg, kegelisahan yang diekspresikan dengan mendatangi KPUD Sikka, menjadi bukti betapa pihak keamanan juga mengidealkan aparat KPUD bekerja maksimal dan profesional. Kajian intelijen sebagai tanggapan atas skandal ini, menjadi secercah mentari harapan bagi seluruh rakyat Sikka.

Optimisme ‘Bayangan’

            Fakta tentang skandal pileg di Sikka harus dilihat dalam kerangka kritik terhadap keabsahan optimisme atas hasil quick count. Jika ingin dikatakan adil, lembaga-lembaga terpercaya mesti juga mengadakan quick count atas pelbagai skandal yang timbul pascapemilu. Rasa-rasanya optimisme pelbagai pihak atas hasil sementara, masih sebatas optimisme ‘bayangan’, lantaran masih ada ratusan rakyat belum terlibat dalam pemilihan. Dipandang dari perspektif demokrasi, optimisme PDIP dapat juga dikatakan sebagai optimisme ‘bayangan’. Optimisme akan menjadi sungguh-sungguh optimisme (optimisme legitim), apabila pelbagai skandal yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara diselesaikan, kedaulatan rakyat ditunjukkan secara holistik dan proporsional. Sebab jika tidak, optimisme ‘bayangan’ versus skandal pascapileg berarti pula kegagalan kita dalam demokratisasi. Kita berharap (meskipun harapan kita selalu tanpa dasar) pelaksanaan Pilpres nanti tidak menimbulkan skandal baru dan optimisme demokratisasi kita tidak sebatas ‘bayangan’. ***



Sabtu, 26 April 2014

CERPEN

CERPEN 
“Nama Wanita itu, Mar Tina”

Oleh Reinard L. Meo*

ilustrasi


Garis-garis pada wajah dan keriput yang kian kusut, tak mungkin berbohong. Usia wanita itu bagai senja berawan pekat, dan memang 5 Desember yang baru saja berlalu, ia terpaksa merayakan kelahirannya, ditemani sirih dan pinang di musim penghujan. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu persis kapan tepatnya ia menjadi bagian dari dunia ini, seiota dari universum, dari kosmologi ini. KTP, akta kelahiran, dan segala tetek bengek lainnya, hingga kini masih menjadi asing di telinganya. Bahkan ketika namanya dipertanyakan, ia hanya menjawab sendu, “Mar Tina.” Katanya, orang sering memanggilnya demikian.

Mar Tina, wanita pemamah sirih. Giginya perlahan menghitam, dengan taring yang bolong, sepadan dengan  uban pada kepala yang makin ramai saja. Namun, tak mampu ditepis, dielak, senyum Mar Tina lebih damai dari kesunyian Sabtu malam di balik tembok biara. Apalagi hangat tawanya, tak ada duanya. Lebih romantis dari kisah ketika Jack hendak melukis Ross yang bugil.
*******

Tepat di kiri atas badan laptop-nya, melekat sebuah foto tua yang usang. Wajah dalam potret itu hampir-hampir tak dikenali lagi. Jhonston, mahasiswa Fisipol penghuni kos Belah Duren itu berkali-kali kedapatan mengusap foto itu. Hingga suatu pagi, oleh rasa penasaran dan desakan teman-temannya, Jhonston berkisah seadanya tentang wajah dalam foto berukuran 3x4 itu.
*******

Hari itu hari Sabtu. Dan pasar Mataloko jatuh tepat pada hari Sabtu. Seperti biasa, sejak pukul 04.30 pagi, paduan vokal babi-babi di tempat penjualan babi, seolah mengambil alih peran ayam dalam membangunkan warga di sekitar pasar. Aroma ikan segar dalam kotak-kotak ikan yang diangkut dari Aimere dan Maum’bawa, seolah mempertegas bahwa hari itu adalah hari pasar. Truk-truk yang penuh sesak dengan pakaian dan barang jualan lainnya mulai berjubel, membingungkan beberapa Polantas yang kebetulan berjaga pagi itu. Motor-motor ojek saling berdesakan, apalagi gerobak-gerobak yang dikemudi oleh anak-anak drop out SD, padat pengap. Matahari kian meninggi, pasar Mataloko makin bergairah.

Di tenda berlantai bale-bale bambu, terbentang hamparan dedaunan hijau. Serentak pula buah-buah dan beberapa bungkus abu putih. Sederhana, bahkan seperti terasing dari dahsyatnya pasar Mataloko, pasar tradisional di ibukota kecamatan Golewa. Jika sepintas lalu ditatap, pasar ini seperti dikawal ketat oleh jejeran jerigen dan botol-botol berisi tuak putih, dan memang begitulah pasar itu, identik dengan tuak putih. Namun, tepat di titik pusat pasar itu, ada hamparan daun sirih, pinang, dan kapur, pada tenda berlantai bale-bale bambu. Barang jualan itu, juga tenda dan penjualnya, seperti telah menjadi sesepuh pasar itu. Walau dari Sabtu ke Sabtu selalu ada wajah-wajah baru berganti, penjual itu tetap sama. Ia selalu ada dan selalu pasti di tempat itu. Sekalipun cuaca Mataloko sering tak menentu, penjual itu tetap ada. Entah hujan lebat, gerimis mengiris, kabut memdekap, ataupun cerah-cerah sejenak maupun panas membakar, ia tetap di sana, tetap dengan optimisme dan senyum pelipur laranya.

 “Ine, sirih satu ikat harganya berapa?”

Ine, pinangnya bisa tambah ka?”

Ine, kapur ini masih baru atau sudah kedaluarsa?”

 Pertanyaan-pertanyaan wajib. Basa-basi pelanggan yang mungkin juga untuk cari untung. Hingga pada Sabtu itu, ketika kabut merayap menyapa, penjual itu dikejutkan dengan sebuah suara. Suara yang tidak seperti biasanya.

Ine, sudah tua tapi tetap berjualan?”

Suara itu kian dekat, dan akhirnya pemilik suara itu duduk tepat di bibir bale-bale bambu itu.
“Kenapa tanya begitu?” balas penjual itu singkat. Bahasa Indonesianya patah-patah.

“Saya hanya kasihan dengan Ine, takutnya Ine tiba-tiba sakit dan mati mendadak…”

“Mau bagaimana lagi, di kebun hanya ada sirih dan pinang….” Ia terhenti sejenak.

“Saya begini untuk cari uang, biaya anak sekolah, dan hibur cucu. Saya senang jadi penjual, biar susah asal dapat uang…” penjual itu bertutur lanjut, sambil tersenyum.

“Mari, kita cerita sambil mamah sirih..”

Penjual itu manyodorkan sirih dan pinangnya. Ramah, murah hati, tapi prinsipil. Memang, namanya juga penjual. Begitulah awal obrolan itu. Si penanya terus maju dengan seribu tanyanya, hingga akhirnya penjual itu tiba pada syering hidup sampai bulir-bulir bening dari mata rentanya menganak sungai.

“Kami orang kampung, bapak mama saya dulu petani, dan saya hanya menjadi penjual. Suami saya sudah mati, saya sekarang tinggal dengan anak saya yang nomor dua. Anak nomor satu, jaga sa’o di kampung. Saya berjuang mati-matian, tidak pernah malu menjadi penjual, biar anak cucu saya bisa sekolah dan hidup tidak sama seperti saya…”

Entah apa yang menghujam merajam, justru sekarang giliran si penanya yang mengusap pipinya, takut dilihat para penjajah pisang goreng yang sedari tadi mengintip. Entahkah dia terharu, atau kagum, atau malah malu pada kisah hidupnya yang tidak seberat dan sepilu penjual itu.

Kisah di Sabtu itupun berakhir, tersudahi oleh rintik-rintik hujan yang kian lama kian menderu-deru. Penjual itu dengan sigap mengumpulkan barang dagangannya, memasukkannya ke dalam karung goni, memikulnya, melangkah pulang, dan lenyap di antara terpal-terpal perkasa. Untung saja, jarak rumahnya sepelempar batu dari pasar itu. Si penanya juga bergegas, sekantong daun sirih dibawanya serta.

Sore itu, tepat pukul 4, penjual itu membongkar bere oka-nya yang bertali merah (tas ayaman yang digunakan wanita Bajawa untuk menyimpan sirih dan pinang), dan mengeluarkan beberapa ikat karet gelang. Cucu laki-lakinya, yang awalnya menanti tak sabaran, melonjak kegirangan. Ia kelihatan gembira, oleh pesona katet gelang itu.

*******

Jhonston mengakhiri sepenggal kisahnya sembari mengembuskan asap batang terakhir Surya 16. Teman-temannya masih terpaku, jelas terbaca gelagat bingung pada wajah mereka.

“Stone, dari antara kita, kaulah yang terkenal paling pandai beretorika. Mana mungkin kau membahasakan pemilik foto itu dengan mengurung kami selama hampir sejam ini? Kisahmu ini antara nyata atau imajinasi belaka?”

“Sudahlah….ahahahaha, kami sudah begitu akrab dengan gayamu, gaya dalam dosa dan doa!” yang lain menyambar.

Yah, begitulah, pertanyaan dengan logat Jawa yang Bajawais menelisik terujar. Namanya juga mahasiswa amatir yang baru mulai bergelut dengan pemikiran para ahli. Antara skeptis dan kritis, seringkali tipis perbedaannya.

Jhonstone, yang sedari tadi mendengar timpalan kawan-kawannya, angkat bicara,
“Kalian boleh percaya boleh juga ragu. Semoga wajahku pagi ini tidak kamu sangka sedang berbohong. Potret ini aku dapat dari seorang wartawati. Katanya, air mukaku mirip dengan wajah seorang wanita reot yang pernah nongol di Koran.”

Jhonstone membalas dengan lebih serius dari biasanya. Mie sedap telah matang, mereka bersiap-siap santapan siang. Kampung tengah anak-anak muda biasanya susah diajak kompromi.
*******

Suatu waktu, sebuah folder dengan nama ‘terang-benderang’ menganga lebar. Dalam dokumen word-nya, tertulis nan cantik,

“Nama wanita senja itu, Mar Tina. Mar Tina memperanakkan Maria, ibu kepala yang mengabdi hampir 20 tahun di sebuah SMP. Maria memperanakkan Jhonstone, mahasiswa Fisipol yang berpacaran dengan anak seorang wartawati yang suka mewawancarai para pedagang di pasar-pasar. Anak muda gagah, pengoleksi karet gelang itu, bertekad bulat menjadi bupati Ngada. Sejujurnya, Mar Tina, Maria, wartawati, anak gadisnya, dan juga Jhonstone, kelima-limanya adalah pemamah sirih.”

*******


(*Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere 86152, Flores, NTT.
Pegiat di ladang sastra, tukang basa-basi
tinggal di Wisma Mikhael, Ledalero.
Cerpen ini pernah dimuat dalam Jurnal Sastra Santarang
edisi Maret 2014)
        


Kamis, 24 April 2014

Catatan tentang PASKAH



..mungkin dapat dikatakan sebagai ‘janin’ prosa lirik..

Kepada
para pelantun lamentasi,
para penenun tangisan, dan
para penyadap debu sepi,             
rentetan sabda ini kutitipkan (di antara bulu-bulu mata kalian)

11:28, pada minggu daun-daun

_ “IA telah bangkit…!” (Luk. 24:6)_

Kegalauan kita, mirip situasi yang membias dari terminologi ini : HAMPA.
Kita memulai dan mengakhiri setiap gelagat detik dengan sebuah halusinasi, 
”Ah…mungkin akan gagal!”
Kita seperti penyadap tuak putih yang salah memungut pisau, yang keliru memilih nadi pohon, yang mungkin malu menggotong batang bambu. Kita irasional dalam bentangan totalitas multitafsir.

Kita memilih beranak-pinak dalam bimbang, padahal kita bukan tawanan korban tindakan rasis a la Hitler. Bukan pula oknum-oknum yang ’dipenjara’ dalam gua Plato, apalagi hamba-hamba yang menyembah terorisme Timur Tengah.

Kesendirian kita, kita ibarat anak ayam yang ditinggal pergi sang bunda, oleh sebab ritus kultural yang riskan, yang selalu meminta darah kurban demi legitimasi.

Kita kerap berbagi bisik,
“Aku seperti ingin wafat juga. Kepergiaan-Nya partuskan duka!”
Kita condong putus dalam asa, hiruk dalam pikuk, serta gunda dalam gulana.
Kita kehilangan ‘figur kaya inspirasi’ oleh sebab maut dan ketidaksadaran kita akan dosa serta selaksa muslihat yang kita telurkan.
Kita lantas ngotot bertanya, memvonis realita yang terlampau tajam merobek sukma.

Hingga saat kita mesti memutuskan untuk independen, untuk otonom,
sebilah tutur dari mulut ‘makhluk putih’ dalam liang lahat itu,
tersembur…..lebih agung dari orasi Obama, juga lebih menggentarkan dari moncong senjata 4 prajurit dalam ‘Lone Survivor’.
“IA telah bangkit…”



Sabda ini mengingatkan kita, lantaran berita dari gonggongan anjing
bahwa ibu telah pulang dari ladang, ayah telah kembali dari perburuan,
selalu persuasif, menarik insting kita.

Kita sejenak membuat hermeneutika
atas isi dalam tas karung ibu……….dan tentengan ayah.
Dan persis itulah yang mengingatkan saya,
“Saya selalu rindu pulang kampung, rindu nenas dalam tas karung Oma,
dan lemak babi hutan di tangan Sang Paman” seperti saya rindu

akan IA yang telah bangkit…..!                                                                         

  (R. L. Meo)