ARTIKEL OPINI
Optimisme Bayangan versus Skandal Pascapileg
(Catatan
seputar Pelaksanaan Pemilu di Sikka)
Oleh Reinard L. Meo
Anggota Kelompok Menulis Koran (KMK) Ledalero,
tinggal di Wisma Mikhael
Pemilu Legislatif (Pileg) baru saja
dipentaskan. Rabu, 9 April yang lalu, seluruh rakyat Indonesia di pelbagai
sudut, dibius oleh pesona Pemilu. Kota Ruteng yang selalu ramai, dikabarkan
seolah ‘mati’ oleh karena Pemilu. Kantor-kantor pemerintahan ‘ditutup’,
sekolah-sekolah ‘disegel’, bahkan komunitas-komunitas biara pun turut menambah
agenda baru, yakni ‘ke TPS’. Kita berharap, semoga tidak ada satu media pun
yang mengangkat, apabila pasien-pasien di rumah sakit tidak dilayani dan umat
Kristiani ‘istirahat’ berpuasa karena sedang ada Pemilu. Sampai pada titik ini,
tidak ada yang lebih hebat dari Pemilu. Pemilu selalu menciptakan satu hari
libur nasional (meski tanggalnya selalu berubah-ubah), sukses membongkar sekat
(break the limit), mampu melampaui eksklusivitas
suku, agama, golongan, dan profesi serta rutinitas baku.
Sinyal Mulai Menyala
Salah satu butir aturan main yang
berlaku di TPS 5, Dapil II, Kabupaten Sikka ialah pencoblosan berlangsung dari
pukul 7 pagi hingga 1 siang. Alih-alih
belum juga sampai hingga batas waktu, sinyal-sinyal mulai menyala. Semua orang
yakin, internet dapat menjadi sumber
informasi terakurat, meskipun semua orang juga sadar, di banyak tempat lain,
pencoblosan sedang berlangsung. Quick
count yang disajikan pelbagai lembaga survei membangkitkan setidak-tidaknya
dua perasaan dominan, yakni pesimis dan optimis. Hingga Jumat, 11 April 2014,
hasil hitung cepat dari tiga sumber terpercaya, memberi sinyal yang cukup
terang. Koran Kompas mengunggulkan PDIP, Lembaga Survei Indonesia (LSI)
menempatkan Golkar pada posisi kedua setelah PDIP, dan Lembaga Survei Cyrus
(CSIS) memastikan Gerindra pada posisi ketiga setelah dua parpol yang telah
disebutkan tadi.
Sinyal berikut menyala lagi. Hasil
hitung cepat Kompas dengan jumlah sampel 90 persen, tetap tidak merubah posisi
tiga besar seperti hari kemarinnya. Jokowi dikabarkan lesu lantaran perolehan
suara masih jauh di bawah target. Sinyal yang cukup ironis, gejala psikologis
yang tidak biasa, salah satu bukti bahwa kekuasaan selalu meninggalkan rasa
tidak puas. Pesimis meski duduk di peringkat teratas. Sinyal lain menyala dari
kubu Golkar. Ketua umumnya, Ical, langsung memberi selamat kepada PDIP. Dan
terakhir, sinyal yang tentunya paling menarik untuk disimak, PDIP condong
berkoalisi dengan PKB dan Nasdem. PKB menyodorkan JK, Mahfud MD, dan Bang Rhoma
untuk ‘kawin’ dengan Jokowi. Entah pada level nasional maupun lokal, banyak
sinyal menyala cepat. Pesimisme beradu dengan optimisme, lantaran banyak pihak
yang tentunya mesti kecewa, resah, skeptis, was-was, bahkan kalah taruhan, di
samping gelagat euforia yang mulai mencuat.
Sinyal Buruk datang dari Sikka
Di tengah optimisme PDIP dan pelbagai macam euforia lainnya,
sinyal buruk terpancar dari Sikka. Memang, di banyak tempat dan TPS juga
terjadi ‘skandal pileg’. Namun, melalui artikel ini penulis menyoroti
problematika pelaksanaan pileg di Sikka, dengan mengangkat soal kinerja KPUD
yang kurang profesional, sebagai tesis utamanya. Skeptisisme segera
terformulasi ketika mengikuti pemberitaan seputar pileg dan mendapati adanya
‘skandal’. Waktu pascapileg belum saja berlalu hingga seminggu, masalah telah timbul.
Sesuai teori demokrasi klasik,
Pemilu merupakan ‘transmission of belt’, kesempatan bagi rakyat untuk berpartisipasi
dalam politik, dan sebagai salah satu wujud demokratisasi. Namun dalam praksis,
pileg kali ini justru menciptakan masalah baru. Pemilu bukan lagi diidealkan
sebagai momentum untuk menentuhkan arah hidup berbangsa dan bernegara menjadi
lebih baik oleh sebab keterlibatan rakyat, malah sebaliknya kian suram dan
busuk. Indikasi kesuraman itu segera terbaca oleh Bawaslu NTT. KPUD Sikka
dinilai kurang becus, gagal, dan melanggar asas Pemilu. Rakyat di 25 TPS tidak
dapat menggelar pencoblosan, belum mengafirmasi kedaulatannya, dan panitia
tertunda menerima ‘gaji’, lantaran surat suara tertukar, rusak, kurang, dan
hilang. Logistik pileg yang sudah diturunkan ditarik kembali, anggaran pileg
yang telah ditetapkan diralat lagi.
Pro Pengusutan
Pelaksanaan pileg di Sikka melahirkan tanda tanya besar.
Banyak pihak mulai bertanya-tanya, rakyat mulai saling berbisik, anjing pelacak
mulai mengendus, hermeneutika atas fenomena yang ditampakkan mulai digagas,
bahkan para caleg sendiri pun mulai gerah. Argumentasi yang dipakai Bawaslu
sudah sepantasnya diafirmasi dan didukung. De
jure dan de facto, KPU Sikka
terbukti ‘menodai’ harapan banyak pihak. Pileg yang dikonsepkan berlangsung dan
selesai pada 9 April, mesti digeser lagi ke 14 April. Salah satu hipotesa dari hermeneutika
yang telah digagas ialah hal ini berdampak pada dana yang telah ditargetkan
terpaksa dirombak ulang. Dugaan pelanggaran asas Pemilu yang dipentaskan,
selanjutnya mengganggu tahapan Pemilu. Di banyak tempat saja hasil Pemilu belum
selesai dihitung, 25 TPS di Sikka malah belum menyelenggarakan pencoblosan.
Terkait skandal ini, apresiasi patut
dialamatkan kepada Bawaslu NTT dan pimpinan TNI-Polri di Sikka. Kesigapan
menanggapi kepincangan melalui langkah hukum yang ditempuh Bawaslu dengan
mengundang KPUD Sikka dan jaringan ad hoc-nya
termasuk sekretariat KPUD untuk dimintai keterangan, perlu didukung dan dinantikan
hasilnya. Respons pimpinan TNI-Polri juga patut diacungkan jempol. Kendatipun
berperan sebagai ‘kulit luar’ dalam pelaksanaan pileg, kegelisahan yang
diekspresikan dengan mendatangi KPUD Sikka, menjadi bukti betapa pihak keamanan
juga mengidealkan aparat KPUD bekerja maksimal dan profesional. Kajian
intelijen sebagai tanggapan atas skandal ini, menjadi secercah mentari harapan
bagi seluruh rakyat Sikka.
Optimisme ‘Bayangan’
Fakta tentang skandal pileg di Sikka harus dilihat dalam
kerangka kritik terhadap keabsahan optimisme atas hasil quick count. Jika
ingin dikatakan adil, lembaga-lembaga terpercaya mesti juga mengadakan quick count atas pelbagai skandal yang timbul pascapemilu. Rasa-rasanya
optimisme pelbagai pihak atas hasil sementara, masih sebatas optimisme
‘bayangan’, lantaran masih ada ratusan rakyat belum terlibat dalam pemilihan. Dipandang
dari perspektif demokrasi, optimisme PDIP dapat juga dikatakan sebagai optimisme
‘bayangan’. Optimisme akan menjadi sungguh-sungguh optimisme (optimisme
legitim), apabila pelbagai skandal yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara
diselesaikan, kedaulatan rakyat ditunjukkan secara holistik dan proporsional. Sebab
jika tidak, optimisme ‘bayangan’ versus skandal
pascapileg berarti pula kegagalan kita dalam demokratisasi. Kita berharap
(meskipun harapan kita selalu tanpa dasar) pelaksanaan Pilpres nanti tidak
menimbulkan skandal baru dan optimisme demokratisasi kita tidak sebatas
‘bayangan’. ***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar