Minggu, 04 Mei 2014

Pernah diterbitkan di Harian Umum Flores Pos, Jumat, 2 Mei 2014

ARTIKEL OPINI

Optimisme Bayangan versus Skandal Pascapileg
(Catatan seputar Pelaksanaan Pemilu di Sikka)

Oleh Reinard L. Meo
Anggota Kelompok Menulis Koran (KMK)  Ledalero, 
tinggal di Wisma Mikhael

            Pemilu Legislatif (Pileg) baru saja dipentaskan. Rabu, 9 April yang lalu, seluruh rakyat Indonesia di pelbagai sudut, dibius oleh pesona Pemilu. Kota Ruteng yang selalu ramai, dikabarkan seolah ‘mati’ oleh karena Pemilu. Kantor-kantor pemerintahan ‘ditutup’, sekolah-sekolah ‘disegel’, bahkan komunitas-komunitas biara pun turut menambah agenda baru, yakni ‘ke TPS’. Kita berharap, semoga tidak ada satu media pun yang mengangkat, apabila pasien-pasien di rumah sakit tidak dilayani dan umat Kristiani ‘istirahat’ berpuasa karena sedang ada Pemilu. Sampai pada titik ini, tidak ada yang lebih hebat dari Pemilu. Pemilu selalu menciptakan satu hari libur nasional (meski tanggalnya selalu berubah-ubah), sukses membongkar sekat (break the limit), mampu melampaui eksklusivitas suku, agama, golongan, dan profesi serta rutinitas baku.

Sinyal Mulai Menyala

            Salah satu butir aturan main yang berlaku di TPS 5, Dapil II, Kabupaten Sikka ialah pencoblosan berlangsung dari pukul 7 pagi hingga 1 siang.  Alih-alih belum juga sampai hingga batas waktu, sinyal-sinyal mulai menyala. Semua orang yakin, internet dapat menjadi sumber informasi terakurat, meskipun semua orang juga sadar, di banyak tempat lain, pencoblosan sedang berlangsung. Quick count yang disajikan pelbagai lembaga survei membangkitkan setidak-tidaknya dua perasaan dominan, yakni pesimis dan optimis. Hingga Jumat, 11 April 2014, hasil hitung cepat dari tiga sumber terpercaya, memberi sinyal yang cukup terang. Koran Kompas mengunggulkan PDIP, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menempatkan Golkar pada posisi kedua setelah PDIP, dan Lembaga Survei Cyrus (CSIS) memastikan Gerindra pada posisi ketiga setelah dua parpol yang telah disebutkan tadi.

            Sinyal berikut menyala lagi. Hasil hitung cepat Kompas dengan jumlah sampel 90 persen, tetap tidak merubah posisi tiga besar seperti hari kemarinnya. Jokowi dikabarkan lesu lantaran perolehan suara masih jauh di bawah target. Sinyal yang cukup ironis, gejala psikologis yang tidak biasa, salah satu bukti bahwa kekuasaan selalu meninggalkan rasa tidak puas. Pesimis meski duduk di peringkat teratas. Sinyal lain menyala dari kubu Golkar. Ketua umumnya, Ical, langsung memberi selamat kepada PDIP. Dan terakhir, sinyal yang tentunya paling menarik untuk disimak, PDIP condong berkoalisi dengan PKB dan Nasdem. PKB menyodorkan JK, Mahfud MD, dan Bang Rhoma untuk ‘kawin’ dengan Jokowi. Entah pada level nasional maupun lokal, banyak sinyal menyala cepat. Pesimisme beradu dengan optimisme, lantaran banyak pihak yang tentunya mesti kecewa, resah, skeptis, was-was, bahkan kalah taruhan, di samping gelagat euforia yang mulai mencuat.

Sinyal Buruk datang dari Sikka

            Di tengah optimisme PDIP dan pelbagai macam euforia lainnya, sinyal buruk terpancar dari Sikka. Memang, di banyak tempat dan TPS juga terjadi ‘skandal pileg’. Namun, melalui artikel ini penulis menyoroti problematika pelaksanaan pileg di Sikka, dengan mengangkat soal kinerja KPUD yang kurang profesional, sebagai tesis utamanya. Skeptisisme segera terformulasi ketika mengikuti pemberitaan seputar pileg dan mendapati adanya ‘skandal’. Waktu pascapileg belum saja berlalu hingga seminggu, masalah telah timbul.

            Sesuai teori demokrasi klasik, Pemilu merupakan ‘transmission of belt’, kesempatan bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam politik, dan sebagai salah satu wujud demokratisasi. Namun dalam praksis, pileg kali ini justru menciptakan masalah baru. Pemilu bukan lagi diidealkan sebagai momentum untuk menentuhkan arah hidup berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik oleh sebab keterlibatan rakyat, malah sebaliknya kian suram dan busuk. Indikasi kesuraman itu segera terbaca oleh Bawaslu NTT. KPUD Sikka dinilai kurang becus, gagal, dan melanggar asas Pemilu. Rakyat di 25 TPS tidak dapat menggelar pencoblosan, belum mengafirmasi kedaulatannya, dan panitia tertunda menerima ‘gaji’, lantaran surat suara tertukar, rusak, kurang, dan hilang. Logistik pileg yang sudah diturunkan ditarik kembali, anggaran pileg yang telah ditetapkan diralat lagi.

Pro Pengusutan

            Pelaksanaan pileg di Sikka melahirkan tanda tanya besar. Banyak pihak mulai bertanya-tanya, rakyat mulai saling berbisik, anjing pelacak mulai mengendus, hermeneutika atas fenomena yang ditampakkan mulai digagas, bahkan para caleg sendiri pun mulai gerah. Argumentasi yang dipakai Bawaslu sudah sepantasnya diafirmasi dan didukung. De jure dan de facto, KPU Sikka terbukti ‘menodai’ harapan banyak pihak. Pileg yang dikonsepkan berlangsung dan selesai pada 9 April, mesti digeser lagi ke 14 April. Salah satu hipotesa dari hermeneutika yang telah digagas ialah hal ini berdampak pada dana yang telah ditargetkan terpaksa dirombak ulang. Dugaan pelanggaran asas Pemilu yang dipentaskan, selanjutnya mengganggu tahapan Pemilu. Di banyak tempat saja hasil Pemilu belum selesai dihitung, 25 TPS di Sikka malah belum menyelenggarakan pencoblosan.
            Terkait skandal ini, apresiasi patut dialamatkan kepada Bawaslu NTT dan pimpinan TNI-Polri di Sikka. Kesigapan menanggapi kepincangan melalui langkah hukum yang ditempuh Bawaslu dengan mengundang KPUD Sikka dan jaringan ad hoc­-nya termasuk sekretariat KPUD untuk dimintai keterangan, perlu didukung dan dinantikan hasilnya. Respons pimpinan TNI-Polri juga patut diacungkan jempol. Kendatipun berperan sebagai ‘kulit luar’ dalam pelaksanaan pileg, kegelisahan yang diekspresikan dengan mendatangi KPUD Sikka, menjadi bukti betapa pihak keamanan juga mengidealkan aparat KPUD bekerja maksimal dan profesional. Kajian intelijen sebagai tanggapan atas skandal ini, menjadi secercah mentari harapan bagi seluruh rakyat Sikka.

Optimisme ‘Bayangan’

            Fakta tentang skandal pileg di Sikka harus dilihat dalam kerangka kritik terhadap keabsahan optimisme atas hasil quick count. Jika ingin dikatakan adil, lembaga-lembaga terpercaya mesti juga mengadakan quick count atas pelbagai skandal yang timbul pascapemilu. Rasa-rasanya optimisme pelbagai pihak atas hasil sementara, masih sebatas optimisme ‘bayangan’, lantaran masih ada ratusan rakyat belum terlibat dalam pemilihan. Dipandang dari perspektif demokrasi, optimisme PDIP dapat juga dikatakan sebagai optimisme ‘bayangan’. Optimisme akan menjadi sungguh-sungguh optimisme (optimisme legitim), apabila pelbagai skandal yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara diselesaikan, kedaulatan rakyat ditunjukkan secara holistik dan proporsional. Sebab jika tidak, optimisme ‘bayangan’ versus skandal pascapileg berarti pula kegagalan kita dalam demokratisasi. Kita berharap (meskipun harapan kita selalu tanpa dasar) pelaksanaan Pilpres nanti tidak menimbulkan skandal baru dan optimisme demokratisasi kita tidak sebatas ‘bayangan’. ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar