Sabtu, 26 April 2014

CERPEN

CERPEN 
“Nama Wanita itu, Mar Tina”

Oleh Reinard L. Meo*

ilustrasi


Garis-garis pada wajah dan keriput yang kian kusut, tak mungkin berbohong. Usia wanita itu bagai senja berawan pekat, dan memang 5 Desember yang baru saja berlalu, ia terpaksa merayakan kelahirannya, ditemani sirih dan pinang di musim penghujan. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu persis kapan tepatnya ia menjadi bagian dari dunia ini, seiota dari universum, dari kosmologi ini. KTP, akta kelahiran, dan segala tetek bengek lainnya, hingga kini masih menjadi asing di telinganya. Bahkan ketika namanya dipertanyakan, ia hanya menjawab sendu, “Mar Tina.” Katanya, orang sering memanggilnya demikian.

Mar Tina, wanita pemamah sirih. Giginya perlahan menghitam, dengan taring yang bolong, sepadan dengan  uban pada kepala yang makin ramai saja. Namun, tak mampu ditepis, dielak, senyum Mar Tina lebih damai dari kesunyian Sabtu malam di balik tembok biara. Apalagi hangat tawanya, tak ada duanya. Lebih romantis dari kisah ketika Jack hendak melukis Ross yang bugil.
*******

Tepat di kiri atas badan laptop-nya, melekat sebuah foto tua yang usang. Wajah dalam potret itu hampir-hampir tak dikenali lagi. Jhonston, mahasiswa Fisipol penghuni kos Belah Duren itu berkali-kali kedapatan mengusap foto itu. Hingga suatu pagi, oleh rasa penasaran dan desakan teman-temannya, Jhonston berkisah seadanya tentang wajah dalam foto berukuran 3x4 itu.
*******

Hari itu hari Sabtu. Dan pasar Mataloko jatuh tepat pada hari Sabtu. Seperti biasa, sejak pukul 04.30 pagi, paduan vokal babi-babi di tempat penjualan babi, seolah mengambil alih peran ayam dalam membangunkan warga di sekitar pasar. Aroma ikan segar dalam kotak-kotak ikan yang diangkut dari Aimere dan Maum’bawa, seolah mempertegas bahwa hari itu adalah hari pasar. Truk-truk yang penuh sesak dengan pakaian dan barang jualan lainnya mulai berjubel, membingungkan beberapa Polantas yang kebetulan berjaga pagi itu. Motor-motor ojek saling berdesakan, apalagi gerobak-gerobak yang dikemudi oleh anak-anak drop out SD, padat pengap. Matahari kian meninggi, pasar Mataloko makin bergairah.

Di tenda berlantai bale-bale bambu, terbentang hamparan dedaunan hijau. Serentak pula buah-buah dan beberapa bungkus abu putih. Sederhana, bahkan seperti terasing dari dahsyatnya pasar Mataloko, pasar tradisional di ibukota kecamatan Golewa. Jika sepintas lalu ditatap, pasar ini seperti dikawal ketat oleh jejeran jerigen dan botol-botol berisi tuak putih, dan memang begitulah pasar itu, identik dengan tuak putih. Namun, tepat di titik pusat pasar itu, ada hamparan daun sirih, pinang, dan kapur, pada tenda berlantai bale-bale bambu. Barang jualan itu, juga tenda dan penjualnya, seperti telah menjadi sesepuh pasar itu. Walau dari Sabtu ke Sabtu selalu ada wajah-wajah baru berganti, penjual itu tetap sama. Ia selalu ada dan selalu pasti di tempat itu. Sekalipun cuaca Mataloko sering tak menentu, penjual itu tetap ada. Entah hujan lebat, gerimis mengiris, kabut memdekap, ataupun cerah-cerah sejenak maupun panas membakar, ia tetap di sana, tetap dengan optimisme dan senyum pelipur laranya.

 “Ine, sirih satu ikat harganya berapa?”

Ine, pinangnya bisa tambah ka?”

Ine, kapur ini masih baru atau sudah kedaluarsa?”

 Pertanyaan-pertanyaan wajib. Basa-basi pelanggan yang mungkin juga untuk cari untung. Hingga pada Sabtu itu, ketika kabut merayap menyapa, penjual itu dikejutkan dengan sebuah suara. Suara yang tidak seperti biasanya.

Ine, sudah tua tapi tetap berjualan?”

Suara itu kian dekat, dan akhirnya pemilik suara itu duduk tepat di bibir bale-bale bambu itu.
“Kenapa tanya begitu?” balas penjual itu singkat. Bahasa Indonesianya patah-patah.

“Saya hanya kasihan dengan Ine, takutnya Ine tiba-tiba sakit dan mati mendadak…”

“Mau bagaimana lagi, di kebun hanya ada sirih dan pinang….” Ia terhenti sejenak.

“Saya begini untuk cari uang, biaya anak sekolah, dan hibur cucu. Saya senang jadi penjual, biar susah asal dapat uang…” penjual itu bertutur lanjut, sambil tersenyum.

“Mari, kita cerita sambil mamah sirih..”

Penjual itu manyodorkan sirih dan pinangnya. Ramah, murah hati, tapi prinsipil. Memang, namanya juga penjual. Begitulah awal obrolan itu. Si penanya terus maju dengan seribu tanyanya, hingga akhirnya penjual itu tiba pada syering hidup sampai bulir-bulir bening dari mata rentanya menganak sungai.

“Kami orang kampung, bapak mama saya dulu petani, dan saya hanya menjadi penjual. Suami saya sudah mati, saya sekarang tinggal dengan anak saya yang nomor dua. Anak nomor satu, jaga sa’o di kampung. Saya berjuang mati-matian, tidak pernah malu menjadi penjual, biar anak cucu saya bisa sekolah dan hidup tidak sama seperti saya…”

Entah apa yang menghujam merajam, justru sekarang giliran si penanya yang mengusap pipinya, takut dilihat para penjajah pisang goreng yang sedari tadi mengintip. Entahkah dia terharu, atau kagum, atau malah malu pada kisah hidupnya yang tidak seberat dan sepilu penjual itu.

Kisah di Sabtu itupun berakhir, tersudahi oleh rintik-rintik hujan yang kian lama kian menderu-deru. Penjual itu dengan sigap mengumpulkan barang dagangannya, memasukkannya ke dalam karung goni, memikulnya, melangkah pulang, dan lenyap di antara terpal-terpal perkasa. Untung saja, jarak rumahnya sepelempar batu dari pasar itu. Si penanya juga bergegas, sekantong daun sirih dibawanya serta.

Sore itu, tepat pukul 4, penjual itu membongkar bere oka-nya yang bertali merah (tas ayaman yang digunakan wanita Bajawa untuk menyimpan sirih dan pinang), dan mengeluarkan beberapa ikat karet gelang. Cucu laki-lakinya, yang awalnya menanti tak sabaran, melonjak kegirangan. Ia kelihatan gembira, oleh pesona katet gelang itu.

*******

Jhonston mengakhiri sepenggal kisahnya sembari mengembuskan asap batang terakhir Surya 16. Teman-temannya masih terpaku, jelas terbaca gelagat bingung pada wajah mereka.

“Stone, dari antara kita, kaulah yang terkenal paling pandai beretorika. Mana mungkin kau membahasakan pemilik foto itu dengan mengurung kami selama hampir sejam ini? Kisahmu ini antara nyata atau imajinasi belaka?”

“Sudahlah….ahahahaha, kami sudah begitu akrab dengan gayamu, gaya dalam dosa dan doa!” yang lain menyambar.

Yah, begitulah, pertanyaan dengan logat Jawa yang Bajawais menelisik terujar. Namanya juga mahasiswa amatir yang baru mulai bergelut dengan pemikiran para ahli. Antara skeptis dan kritis, seringkali tipis perbedaannya.

Jhonstone, yang sedari tadi mendengar timpalan kawan-kawannya, angkat bicara,
“Kalian boleh percaya boleh juga ragu. Semoga wajahku pagi ini tidak kamu sangka sedang berbohong. Potret ini aku dapat dari seorang wartawati. Katanya, air mukaku mirip dengan wajah seorang wanita reot yang pernah nongol di Koran.”

Jhonstone membalas dengan lebih serius dari biasanya. Mie sedap telah matang, mereka bersiap-siap santapan siang. Kampung tengah anak-anak muda biasanya susah diajak kompromi.
*******

Suatu waktu, sebuah folder dengan nama ‘terang-benderang’ menganga lebar. Dalam dokumen word-nya, tertulis nan cantik,

“Nama wanita senja itu, Mar Tina. Mar Tina memperanakkan Maria, ibu kepala yang mengabdi hampir 20 tahun di sebuah SMP. Maria memperanakkan Jhonstone, mahasiswa Fisipol yang berpacaran dengan anak seorang wartawati yang suka mewawancarai para pedagang di pasar-pasar. Anak muda gagah, pengoleksi karet gelang itu, bertekad bulat menjadi bupati Ngada. Sejujurnya, Mar Tina, Maria, wartawati, anak gadisnya, dan juga Jhonstone, kelima-limanya adalah pemamah sirih.”

*******


(*Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere 86152, Flores, NTT.
Pegiat di ladang sastra, tukang basa-basi
tinggal di Wisma Mikhael, Ledalero.
Cerpen ini pernah dimuat dalam Jurnal Sastra Santarang
edisi Maret 2014)
        


Kamis, 24 April 2014

Catatan tentang PASKAH



..mungkin dapat dikatakan sebagai ‘janin’ prosa lirik..

Kepada
para pelantun lamentasi,
para penenun tangisan, dan
para penyadap debu sepi,             
rentetan sabda ini kutitipkan (di antara bulu-bulu mata kalian)

11:28, pada minggu daun-daun

_ “IA telah bangkit…!” (Luk. 24:6)_

Kegalauan kita, mirip situasi yang membias dari terminologi ini : HAMPA.
Kita memulai dan mengakhiri setiap gelagat detik dengan sebuah halusinasi, 
”Ah…mungkin akan gagal!”
Kita seperti penyadap tuak putih yang salah memungut pisau, yang keliru memilih nadi pohon, yang mungkin malu menggotong batang bambu. Kita irasional dalam bentangan totalitas multitafsir.

Kita memilih beranak-pinak dalam bimbang, padahal kita bukan tawanan korban tindakan rasis a la Hitler. Bukan pula oknum-oknum yang ’dipenjara’ dalam gua Plato, apalagi hamba-hamba yang menyembah terorisme Timur Tengah.

Kesendirian kita, kita ibarat anak ayam yang ditinggal pergi sang bunda, oleh sebab ritus kultural yang riskan, yang selalu meminta darah kurban demi legitimasi.

Kita kerap berbagi bisik,
“Aku seperti ingin wafat juga. Kepergiaan-Nya partuskan duka!”
Kita condong putus dalam asa, hiruk dalam pikuk, serta gunda dalam gulana.
Kita kehilangan ‘figur kaya inspirasi’ oleh sebab maut dan ketidaksadaran kita akan dosa serta selaksa muslihat yang kita telurkan.
Kita lantas ngotot bertanya, memvonis realita yang terlampau tajam merobek sukma.

Hingga saat kita mesti memutuskan untuk independen, untuk otonom,
sebilah tutur dari mulut ‘makhluk putih’ dalam liang lahat itu,
tersembur…..lebih agung dari orasi Obama, juga lebih menggentarkan dari moncong senjata 4 prajurit dalam ‘Lone Survivor’.
“IA telah bangkit…”



Sabda ini mengingatkan kita, lantaran berita dari gonggongan anjing
bahwa ibu telah pulang dari ladang, ayah telah kembali dari perburuan,
selalu persuasif, menarik insting kita.

Kita sejenak membuat hermeneutika
atas isi dalam tas karung ibu……….dan tentengan ayah.
Dan persis itulah yang mengingatkan saya,
“Saya selalu rindu pulang kampung, rindu nenas dalam tas karung Oma,
dan lemak babi hutan di tangan Sang Paman” seperti saya rindu

akan IA yang telah bangkit…..!                                                                         

  (R. L. Meo)