CERPEN
“Nama Wanita itu, Mar Tina”
Oleh
Reinard L. Meo*
Garis-garis pada wajah dan keriput yang kian
kusut, tak mungkin berbohong. Usia wanita itu bagai senja berawan pekat, dan
memang 5 Desember yang baru saja berlalu, ia terpaksa merayakan kelahirannya,
ditemani sirih dan pinang di musim penghujan. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu
persis kapan tepatnya ia menjadi bagian dari dunia ini, seiota dari universum,
dari kosmologi ini. KTP, akta kelahiran, dan segala tetek bengek lainnya,
hingga kini masih menjadi asing di telinganya. Bahkan ketika namanya
dipertanyakan, ia hanya menjawab sendu, “Mar Tina.” Katanya, orang sering
memanggilnya demikian.
Mar Tina, wanita pemamah sirih. Giginya perlahan
menghitam, dengan taring yang bolong, sepadan dengan uban pada kepala yang makin ramai saja.
Namun, tak mampu ditepis, dielak, senyum Mar Tina lebih damai dari kesunyian
Sabtu malam di balik tembok biara. Apalagi hangat tawanya, tak ada duanya.
Lebih romantis dari kisah ketika Jack
hendak melukis Ross yang bugil.
*******
Tepat di kiri atas badan laptop-nya, melekat sebuah foto tua yang usang. Wajah dalam potret
itu hampir-hampir tak dikenali lagi. Jhonston, mahasiswa Fisipol penghuni kos Belah
Duren itu berkali-kali kedapatan mengusap foto itu. Hingga suatu pagi, oleh
rasa penasaran dan desakan teman-temannya, Jhonston berkisah seadanya tentang
wajah dalam foto berukuran 3x4 itu.
*******
Hari itu hari Sabtu. Dan pasar Mataloko jatuh
tepat pada hari Sabtu. Seperti biasa, sejak pukul 04.30 pagi, paduan vokal
babi-babi di tempat penjualan babi, seolah mengambil alih peran ayam dalam
membangunkan warga di sekitar pasar. Aroma ikan segar dalam kotak-kotak ikan
yang diangkut dari Aimere dan Maum’bawa, seolah mempertegas bahwa hari itu
adalah hari pasar. Truk-truk yang penuh sesak dengan pakaian dan barang jualan
lainnya mulai berjubel, membingungkan beberapa Polantas yang kebetulan berjaga
pagi itu. Motor-motor ojek saling berdesakan, apalagi gerobak-gerobak yang
dikemudi oleh anak-anak drop out SD, padat
pengap. Matahari kian meninggi, pasar Mataloko makin bergairah.
Di tenda berlantai bale-bale bambu, terbentang hamparan dedaunan hijau. Serentak pula
buah-buah dan beberapa bungkus abu putih. Sederhana, bahkan seperti terasing
dari dahsyatnya pasar Mataloko, pasar tradisional di ibukota kecamatan Golewa.
Jika sepintas lalu ditatap, pasar ini seperti dikawal ketat oleh jejeran
jerigen dan botol-botol berisi tuak putih, dan memang begitulah pasar itu,
identik dengan tuak putih. Namun, tepat di titik pusat pasar itu, ada hamparan
daun sirih, pinang, dan kapur, pada tenda berlantai bale-bale bambu. Barang jualan itu, juga tenda dan penjualnya,
seperti telah menjadi sesepuh pasar itu. Walau dari Sabtu ke Sabtu selalu ada
wajah-wajah baru berganti, penjual itu tetap sama. Ia selalu ada dan selalu
pasti di tempat itu. Sekalipun cuaca Mataloko sering tak menentu, penjual itu
tetap ada. Entah hujan lebat, gerimis mengiris, kabut memdekap, ataupun
cerah-cerah sejenak maupun panas membakar, ia tetap di sana, tetap dengan
optimisme dan senyum pelipur laranya.
“Ine, sirih satu ikat harganya berapa?”
“Ine, pinangnya
bisa tambah ka?”
“Ine, kapur
ini masih baru atau sudah kedaluarsa?”
Pertanyaan-pertanyaan wajib. Basa-basi
pelanggan yang mungkin juga untuk cari untung. Hingga pada Sabtu itu, ketika
kabut merayap menyapa, penjual itu dikejutkan dengan sebuah suara. Suara yang
tidak seperti biasanya.
“Ine, sudah
tua tapi tetap berjualan?”
Suara itu kian dekat, dan akhirnya pemilik suara
itu duduk tepat di bibir bale-bale bambu
itu.
“Kenapa tanya begitu?” balas penjual itu singkat.
Bahasa Indonesianya patah-patah.
“Saya hanya kasihan dengan Ine, takutnya Ine tiba-tiba
sakit dan mati mendadak…”
“Mau bagaimana lagi, di kebun hanya ada sirih dan
pinang….” Ia terhenti sejenak.
“Saya begini untuk cari uang, biaya anak sekolah,
dan hibur cucu. Saya senang jadi penjual, biar susah asal dapat uang…” penjual
itu bertutur lanjut, sambil tersenyum.
“Mari, kita cerita sambil mamah sirih..”
Penjual itu manyodorkan sirih dan pinangnya.
Ramah, murah hati, tapi prinsipil. Memang, namanya juga penjual. Begitulah awal
obrolan itu. Si penanya terus maju dengan seribu tanyanya, hingga akhirnya
penjual itu tiba pada syering hidup sampai bulir-bulir bening dari mata
rentanya menganak sungai.
“Kami orang kampung, bapak mama saya dulu petani,
dan saya hanya menjadi penjual. Suami saya sudah mati, saya sekarang tinggal
dengan anak saya yang nomor dua. Anak nomor satu, jaga sa’o di kampung. Saya berjuang mati-matian, tidak pernah malu
menjadi penjual, biar anak cucu saya bisa sekolah dan hidup tidak sama seperti
saya…”
Entah apa yang menghujam merajam, justru sekarang
giliran si penanya yang mengusap pipinya, takut dilihat para penjajah pisang goreng
yang sedari tadi mengintip. Entahkah dia terharu, atau kagum, atau malah malu
pada kisah hidupnya yang tidak seberat dan sepilu penjual itu.
Kisah di Sabtu itupun berakhir, tersudahi oleh
rintik-rintik hujan yang kian lama kian menderu-deru. Penjual itu dengan sigap
mengumpulkan barang dagangannya, memasukkannya ke dalam karung goni,
memikulnya, melangkah pulang, dan lenyap di antara terpal-terpal perkasa.
Untung saja, jarak rumahnya sepelempar batu dari pasar itu. Si penanya juga
bergegas, sekantong daun sirih dibawanya serta.
Sore itu, tepat pukul 4, penjual itu membongkar bere oka-nya yang bertali merah (tas
ayaman yang digunakan wanita Bajawa untuk menyimpan sirih dan pinang), dan
mengeluarkan beberapa ikat karet gelang. Cucu laki-lakinya, yang awalnya
menanti tak sabaran, melonjak kegirangan. Ia kelihatan gembira, oleh pesona
katet gelang itu.
*******
Jhonston mengakhiri sepenggal kisahnya sembari
mengembuskan asap batang terakhir Surya
16. Teman-temannya masih terpaku, jelas terbaca gelagat bingung pada wajah
mereka.
“Stone, dari antara kita, kaulah yang terkenal
paling pandai beretorika. Mana mungkin kau membahasakan pemilik foto itu dengan
mengurung kami selama hampir sejam ini? Kisahmu ini antara nyata atau imajinasi
belaka?”
“Sudahlah….ahahahaha, kami sudah begitu akrab
dengan gayamu, gaya dalam dosa dan doa!” yang lain menyambar.
Yah, begitulah, pertanyaan dengan logat Jawa yang
Bajawais menelisik terujar. Namanya juga mahasiswa amatir yang baru mulai
bergelut dengan pemikiran para ahli. Antara skeptis dan kritis, seringkali
tipis perbedaannya.
Jhonstone, yang sedari tadi mendengar timpalan
kawan-kawannya, angkat bicara,
“Kalian boleh percaya boleh juga ragu. Semoga wajahku
pagi ini tidak kamu sangka sedang berbohong. Potret ini aku dapat dari seorang
wartawati. Katanya, air mukaku mirip dengan wajah seorang wanita reot yang
pernah nongol di Koran.”
Jhonstone membalas dengan lebih serius dari
biasanya. Mie sedap telah matang,
mereka bersiap-siap santapan siang. Kampung
tengah anak-anak muda biasanya susah diajak kompromi.
*******
Suatu waktu, sebuah folder dengan nama ‘terang-benderang’
menganga lebar. Dalam dokumen word-nya, tertulis nan cantik,
“Nama wanita senja itu, Mar Tina. Mar Tina
memperanakkan Maria, ibu kepala yang mengabdi hampir 20 tahun di sebuah SMP.
Maria memperanakkan Jhonstone, mahasiswa Fisipol yang berpacaran dengan anak seorang
wartawati yang suka mewawancarai para pedagang di pasar-pasar. Anak muda gagah,
pengoleksi karet gelang itu, bertekad bulat menjadi bupati Ngada. Sejujurnya,
Mar Tina, Maria, wartawati, anak gadisnya, dan juga Jhonstone, kelima-limanya adalah
pemamah sirih.”
*******
(*Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere 86152, Flores,
NTT.
Pegiat di ladang sastra, tukang basa-basi
tinggal di Wisma Mikhael, Ledalero.
Cerpen ini pernah dimuat dalam Jurnal Sastra
Santarang
edisi Maret 2014)

.jpg)
.jpg)