Minggu, 01 November 2015

“Pesan Ibu Bumi”: Stop Privatisasi...! (Pembacaan Kritis atas Cerpen Eka Putra Nggalu)



Pesan Ibu Bumi
Cerpen Eka Putra Nggalu

“Kau dengar itu Woga. Deburan ombak dan hempasan angin itu. Itu nynyian laut. Pesan Ina Nian Tanakepada alam semesta. Entah apa isinya!”
            Aku terus saja membayangkan nenek. Itu malam terakhir kami sama-sama tidur sekamar. Dalam hening yang aneh ia mengajakku memasang telinga, mendengarkan debur ombak dan angin yang bertiup di sela-sela nyiur yang melambai-lambai. Nyanyian laut. Begitu nenek menyebut segala suara yang datang dari arah laut Utara. Kata nenek, itu adalah cara Ina Nian Tana menitipkan pesan kepada alam semesta dan penghuni bumi. Pesannya bermacam-macam, tergantung nada nyanyian yang diperdengarkan.
            “Kalau begitu, apa pesan nyanyian kali ini, Nek?”
            “Entahlah. Kau dengar Woga. Laut seperti meratap, seperti ingin meluapkan amarah dan kesedihan”
            “Bagaimana nenek mengetahuinya?”
            “Pasang saja telingamu, Woga.”
            ‘’Lalu, mengapa laut bersedih?”
            Hening..
            Sepanjang malam nenek memejamkan mata. Namun aku tahu. Ia sama sekali tidak tidur. Ia seperti ingin berkonsentrasi mendengarkan suara-suara dari laut Utara. Lebih dari itu, ia seperti membuka diri kepada Ina Nian Tana, supaya dirinya bisa mendengar titah sosok yang diyakini sebagai ibu bumi.
            Nenek mengeluh. September sudah lama lewat. Namun panas masih saja berkepanjangan.Ilalang dan rerumputan liar di ladang-ladang sudah lama dibersihkan. Sako seng sudah lama berakhir. Orang-orang sudah mulai menanam jagung-jagung dan ubi-ubi di ladang-ladang mereka.Dan mereka butuh air. Satu-satunya yang mereka harapkan adalah air hujan, air dari Ama Lero Wulan. Ketika air hujan membasahi bumi, Ama Lero Wulanmenjadi satu dengan Ina Nian Tana, lantas memberi nutrisi bagi benih-benih, agar mereka tumbuh dan memberikan kehidupan. Namun, sampai setelah September telah lama lewat, hujan hanya turun begitu-begitu saja.Ama Lero Wulan tak kunjung datang menjumpai kekasihnya. Seperti enggan. Tidak biasanya itu terjadi. Dan jika kali ini terjadi, pasti ada sesuatu.
            “Woga…”
            “Iya nenek…”
            “Janganlah tidur terlalu nyenyak malam ini. Berdoalah agar kau tetap terjaga”
            Nenek tahu bagaimana aku ketika tidur. Aku selalu sudah nyenyak dan mendengkur ketika nenek sampai pada pertengahan cerita. Mustahil malam ini ia memintaku berjaga. Mustahil.
            “Woga..”
            Aku yang setengah tertidur terbangun karena suaranya yang tegas, dan tangannya yang menguncang-guncang tubuhku.
“Esok setelah pulang sekolah, kau harus langsung ke rumah. Jangan lagi berlama-lama di pantai. Ingat! Nenek tunggu”.
***
Aku telat bangun keesokan harinya. Bahkan untuk ke sekolah pun aku harus terburu-buru. Aku bahkan tidak sempat sarapan pagi dan pamit kepada nenek. Pelajaran sekolah berlangsung seperti biasa. Pelajar kelas empat pulang pukul duabelas. Bersama teman-teman aku berjalan kaki menyusuri pantai. Itu jalan yang biasa kami lewati. Beramai-ramai, saling berkejaran, menenteng tas dan sepatu-sepatu yang terasa berat di kaki. Hari itu sangat panas, seperti hari-hari terakhir yang telah lalu. Kami beristirahat sejenak di pantai. Teman-teman saya yang laki-laki memanjat dan menjatuhkan beberapa buah kelapa. Kami melepas dahaga di siang yang terik itu. Air laut tampak surut, jauh sekali. Beberapa nelayan terlihat berkarang dan menyulu ikan.
Aku pulang ketika matahari sudah agak ke barat. Tepat ketika aku sampai di sisi sebelah jalan raya yang kuseberangi, gemuruh menderu, bumi bergoncang, panas, angin kencang, dan seakan langit runtuh. Semua orang berhamburan ke luar rumah, berlari mencari tempat terbuka yang lebih tinggi. Aku yang kebingungan turut begitu saja. Orang-orang berteriak-teriak ‘Ami Noran.. Ami Noran..’ sambil membuat gaduh. Kelak aku tahu, itu kepercayaan tradisional, memberi tanda kepada Ina Nian Tana dan Ama Lero Wulan bahwa dunia masih berpenghuni.
Aku lari, terpisah dari keluarga selama hampir tiga hari. Ketika bertemu lagi dengan keluargaku nenek telah tiada. Ia tak mau lari. Ia menantiku di rumah. Tsunami melahapnya.
***
Malam ini aku teringat nenek.
“Nak esok jangan main terlalu lama di pantai. Ibu mendengar pesan dari ibu bumi”
“Kami tak akan lagi bermain di pantai, Bu. Semua sudah dipagari, untuk tempat-tempat wisata dan hotel-hotel.”


(Eka Putra Nggalu. Mahasiswa STFK Ledalero Maumere)


 “Pesan Ibu Bumi”: Stop Privatisasi...!

(Pembacaan Kritis atas Cerpen Eka Putra Nggalu)
Oleh Reinard L. Meo
Peminat Sastra, anggota Teater Aletheia Ledalero

 Bahwa Flores Pos telah membuka ruang bagi tumbuh-kembang sastra dengan menyediakan kolom bagi puisi, prosa, dan cerita pendek (cerpen) setiap hari Selasa, ini patut diapresiasi. Lebih dari sekadar penyediaan, hemat saya, Harian Umum kita ini secara gamblang menunjukkan dukungannya bagi perkembangan dan kreativitas anak-anak Flores-NTT. Artinya, ada semacam api harapan yang tak henti-hentinya berkobar. Dalam artikel ini, saya akan membaca kembali secara lebih teliti satu nomor cerpen yang dimuat pada Selasa (6/10/2015).
‘Pesan Ibu Bumi’
 Cerpen berjudul ‘Pesan Ibu Bumi’ ini ditulis oleh Eka Putra Nggalu, mahasiswa STFK Ledalero yang kini berdomisili di Lokaria, Maumere. Dilahirkan pada 17 Januari 1992, dalam pengakuannya, Eka mulai tertarik pada sastra sejak mengenyam pendidikan di Seminari Todabelu-Mataloko. Eka pernah bergiat dalam Komunitas Teater Vigilantia Karmel-Maumere; pernah diundang untuk mengikuti Festival Sastra Santarang (2015) di Kupang, dan diundang juga untuk mengikuti Temu II Sastrawan NTT (2015) di Ende. Penikmat sastra yang juga jatuh cinta pada aliran musik reggae ini dapat dijumpai via FB: Dede Aton, dan saat ini, aktif menulis kritik cerpen untuk Pos Kupang serta menjadi kontributor tetap untuk Warta Flobamora wilayah Maumere.
 Sejauh pembacaan saya, nada dasar yang memotivasi berdirinya bangunan cerita yang dilukiskan oleh Eka ialah keprihatinan. Keprihatinan yang tajam mengandaikan pengamatan yang jeli, pengamatan yang jeli mengandaikan pengalaman yang riil, lalu keprihatinan itu sendiri menjadi semacam jiwa yang pada akhirnya menelurkan sebuah refleksi. Oleh karena itu, saya dapat menyebut ‘Pesan Ibu Bumi’ sebagai sebuah cerita reflektif atau refleksi yang dinarasikan secara lebih apik-menggairahkan.
Cerpen yang kurang-lebih berjumlah 600 kata ini diawali dan diwarnai dengan dialog demi dialog. Woga, (si aku) menggali kembali apa yang terjadi di masa lalu, kenangan bersama neneknya. Rupanya, saat ini, Woga sedang merindukan neneknya, merindukan detik-detik terakhir bersama neneknya. Aku terus saja membayangkan nenek. Itu malam terakhir kami sama-sama tidur sekamar.Jika dibaca lebih lanjut, yang hendak diangkat oleh Woga melalui kenangan terakhir bersama nenek ialah bahwa alam juga dapat berbicara, dapat menyampaikan sesuatu kepada manusia. Dalam deskripsi yang lebih tradisional, Nyanyian laut. Begitu nenek menyebut segala suara yang datang dari arah laut Utara. Kata nenek, itu adalah cara Ina Nian Tana menitipkan pesan kepada alam semesta dan penghuni bumi. Pesannya bermacam-macam, tergantung nada nyanyian yang diperdengarkan. Nenek Woga adalah wanita tua yang sudah cukup intim mengakrabi alam.
Eka juga menyodorkan pesan ekologis bagi pembaca. Melalui nenek, pesan itu dapat kita baca. Nenek mengeluh. September sudah lama lewat. Namun panas masih saja berkepanjangan. Ilalang dan rerumputan liar di ladang-ladang sudah lama dibersihkan. Sako seng sudah lama berakhir. Orang-orang sudah mulai menanam jagung-jagung dan ubi-ubi di ladang-ladang mereka. Dan mereka butuh air. Satu-satunya yang mereka harapkan adalah air hujan, air dari Ama Lero Wulan. Ketika air hujan membasahi bumi, Ama Lero Wulan menjadi satu dengan Ina Nian Tana, lantas memberi nutrisi bagi benih-benih, agar mereka tumbuh dan memberikan kehidupan. Namun, sampai setelah September telah lama lewat, hujan hanya turun begitu-begitu saja.
Cerita yang dipaparkan oleh Eka secara sederhana, luwes, dialogis, dan sehari-hari ini berakhir tragis. Pesan ibu bumi yang diramalkan nenek pada malam itu, terjadi keesokan sorenya. Aku lari, terpisah dari keluarga selama hampir tiga hari. Ketika bertemu lagi dengan keluargaku, nenek telah tiada. Ia tak mau lari. Ia menantiku di rumah. Tsunami melahapnya.
Ada pun beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh Eka dalam ‘Pesan Ibu Bumi’. Memang, saya percaya, semakin pendek sebuah cerita, semakin seseorang itu jujur dan tidak berbelit-belit dalam menceritakannya. Namun, hal ini tidak cocok bagi ‘Pesan Ibu Bumi’. Seharusnya, Eka dapat ‘bermain-main’ bersama pembaca pada bagian-bagian tertentu, misalnya dalam deskripsi tentang pantai yang biasa mereka lewati sepulang dari sekolah. Eka, bisa saja, sekaligus mempromosikan pantai tersebut kepada khalayak pembaca. Diperpanjang sedikit, tidak mengurangi kenikmatan apa yang saya sebut sebagai penulisan sehari-hari ini. Hal lain, aspek lokalitas juga ditonjolkan oleh Eka. Aspek ini diwakili oleh beberapa kata bahasa daerah, yakni Ina Nian Tana, sako seng, Ama Lero Wulan, dan ami noran. Hanya saja, Eka tidak memberikan penjelasan lanjutan atas kata-kata ini. Bahwa pembaca setia Flores Pos itu bukan hanya orang Maumere saja, ketiadaan penjelasan itu menjadi kekurangan yang cukup mencolok.
  
Stop Privatisasi..!
 

Awalnya, saya sangka Eka hanya bertutur lepas soal relasi Woga, si nenek, dan alam. Namun, akhirnya saya tertegun. Poin kunci atau pesan utama yang hendak Eka sampaikan justru terletak pada bagian akhir cerita ini. Malam ini aku teringat nenek. Nak esok jangan main terlalu lama di pantai. Ibu mendengar pesan dari ibu bumi.’ ‘Kami tak akan lagi bermain di pantai, Bu. Semua sudah dipagari, untuk tempat-tempat wisata dan hotel-hotel.’” Dalam beberapa kalimat saja, Eka membuat saya bergidik kagum. Pesan utama itu saya ringkas dalam: Stop Privatisasi..!
Apa itu privatisasi? Privatisasi merujuk pada proses, cara, atau perbuatan mengalihkan milik negara menjadi milik perseorangan atau penjualan sebagian atau semua aset negara kepada publik, baik melalui penjualan langsung ke perusahaan swasta nasional dan asing maupun melalui bursa efek. Secara yuridis, privatisasi itu kontra-UUD 1945 pasal 33 ayat 3; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Dalam tafsiran Dr. Alex Jebadu, bagian dari imperatif ini yang sering diabaikan padahal sama penting dengan pernyataan ‘dikuasai oleh negara’ ialah ‘dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat’. Bahkan, yang disebutkan kedua ini menjadi anima legis, jiwa dari UU tersebut.
Miris lagi mengerikan menyaksikan betapa di Labuan Bajo kita ramai-ramai meneriakan #SAVE Pantai Pede, Stop Privatisasi dan di Kupang #SAVE Pantai Pasir Panjang, Stop Privatisasi, di Maumere malah suara kita masih tertidur. Bisa saya duga, pantai yang dimaksudkan oleh Eka ialah Pantai Lokaria (yang dikenal juga dengan Pantai Parish) juga pantai-pantai lain yang berada di Maumere, yang mulai dikuasai oleh segelintir pemilik modal, kaum kapitalis. 2010 yang lalu, saya sendiri pernah mengunjungi Pantai Lokaria itu. Dan kini, memang benar apa yang Eka gambarkan, “Kami tak akan lagi bermain di pantai, Bu. Semua sudah dipagari, untuk tempat-tempat wisata dan hotel-hotel.Mari kita bersama ‘Pesan Ibu Bumi’ ramai-ramai menolak privatisasi. #SAVE Pantai-pantai di Maumere.***