Mahasiswa dan Pers Bersikap!
(Membaca Opini Dr. Marsel Robot sebagai Sebuah
Kritik Aktual)
Oleh: Reinard L. Meo
Mahasiswa STFK
Ledalero,
tinggal di Wisma St. Agustinus,
Ledalero
Rabu, 21 Mei 2014, SKH Pos Kupang menurunkan opini Dr.
Marsel Robot dengan judul ‘Mengenang Kejatuhan Soeharto: Antara Mahasiswa dan
Pers’. Pada tempat pertama, apresiasi dan terima kasih patut dialamatkan kepada
Dr. Marsel. Bahwasannya, uraian beliau bukan sekadar sebuah ulasan historis
atau sekadar menghidupkan kembali memori pahit 1998 yang menimpa Soeharto dan
rezimnya, dengan memfokuskan tesis pada perjuangan serta peran mahasiswa dan
pers saja.Lebih dari itu, sebuah ‘pukulan telak’. Secara kritis, uraian
reflektif-kontekstual Dr. Marsel ini mesti tajam dibaca sebagai sebuah kritik
aktual. Kritik terhadap siapa? Yah, tentu saja kritik terhadap mahasiswa/i dan
pers masa kini.Awalnya saya cukup tertantang untuk membuat konfirmasi ini. Sebagai
mahasiswa dan peminat jurnalistik, saya merasa sedang dikritik secara tidak
langsung. Sekurang-kurangnya saya dapat menangkap apa maksud Dr. Marsel. Dan
sebagai jawabannya, saya memilih judul ‘Mahasiswa dan Pers Bersikap!’.
Antara Mahasiswa ’98 dan Mahasiswa Masa Kini
Dr. Marsel menulis, “Pertama,
mahasiswa yang secara riil turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi
mengepung Soeharto,…” Aktivitas ‘turun ke jalan’ bukan actusnirmotif, bukan tanpa spirit. Ada nasionalisme sebagai ‘baju
zirah’ dan patriotismesebagai ‘pedangnya’. Mahasiswa ’98 menampilkan sisi
heroiknya dan memang mahasiswa 98’ itu pahlawan reformasi. Ada beberapa
keutamaan yang terejawantahkan di sana. Keberanian, daya kritis, pantang
menyerah, atau yang oleh Dr. Otto Gusti disebut ‘cendekiawan terlibat’. Mahasiswa
’98 sukses menterjemahkan konsep-konsep ‘ruang kuliah atau ruang privat’ menuju
praksis ‘ruang pasar atau ruang publik’. Pada titik ini, mereka ‘menang’.
Apa yang dapat dikatakan tentang mahasiswa masa kini?
Masih adakah nasionalisme itu? Masih nyatakah patriotisme itu? Sebagai
mahasiswa, saya cukup sadar bahwa pertanyaan ini terlampau sulit untuk dijawab.
Sulit bukan berarti akhir-akhir ini tidak ada lagi ‘Soeharto jilid 2’, yang
mana jika ada, mahasiswa tentu bisa unjuk gigi lagi. Sulit, karena mentalitas
mahasiswa masa kini memang sangat tidak teruji, masih jauh dari spirit ‘98. Bahkan
jika kita ingin berkata jujur (‘buka kartu’) mahasiswa atau pelajar atau kaum
muda masa kini identik dengan hal-hal destruktif. Kita patut miris ketika di
Kupang, pelajar yang ugal-ugalan karena mabuk mesti diciduk polisi. Di Bajawa
lain lagi, pelajar yang kebut-kebutan dengan kendaraan roda dua juga mesti
‘dijinakkan’ oleh polantas. Atau tentang aborsi oleh seorang mahasiswi di
Ruteng yang membuang janin bayinya di saluran irigasi warga dan di Ende, borok
bayi kedapatan sedang dijilat anjing. Belum lagi soal free sex di Maumere dan yang tidak sempat diangkat yang terjadi di
Larantuka, Lembata, Sumba, dan daratan Timor lainnya.
Kita unggul dalam anarkisme bukan berarti mahasiswa ’98
itu bersih dari ‘dosa-dosa kaum muda’. Kita ditantang untuk membuktikan
ke-maha-kitaan sebagai siswa, sebagai pelajar, sebagai reformator bangsa. Kita
dikritik dan kita mesti bersikap. Fakta tentang human trafficking, tambang, KKN, sistem birokrasi yang busuk, atau
pembunuhan nilai-nilai kemanusiaan lainnya, meminta dari pada kita sebuah sikap.
Kita terlampau dimanjakan sampai-sampai nilai UN/US mesti dikatrol oleh
kebijakan sekolah agar bangga berteriak, “Kami 100%...!”. Memang, antara
mahasiswa ’98 dan mahasiswa masa kini terbentang jurang yang cukup signifikan. Spirit
muda kita dilumpuhkan oleh globalisasi, oleh facebook dan aneka teknologi mutakhir lainnya. Kita condong memilih berlama-lama di hadapan laptop dari pada ‘terjun ke jalan’. Kita bersikap, kita mesti
bersikap!
Antara Pers ’98 dan Pers Masa Kini
Selanjutnya, Dr. Marsel menulis lagi, “Kedua, pihak pers yang merongrong
Soehartodengan memprovokasi keadaan. Pers memberikan semacam ‘oksigen publitas’
untuk menghidupkan semangat heroik para mahasiswa yang berdemonstrasi….” Pers
’98 (yang setelah cukup lama ‘dicekik’ oleh rezim Soeharto) bangkit dan menyadari
eksistensinya sebagai pilar keempat demokrasi, penyanggah hidup Bangsa dan
Negara ini. Sama seperti mahasiswa, ada nasionalisme dan patrotisme yang
memantik perjuangan insan-insan pers ’98. Pers juga pahlawan reformasi.
Bagaimana dengan pers masa kini? Sebagai bukan insan
pers, saya tentu tidak bisa berbicara banyak dalam bidang ini. Namun, dunia
jurnalisme atau pers atau media massa juga sedang dikritik pada titik ini. Pers
tetap dipanggil untuk menyediakan pasokan ‘oksigen publitas’, profesional dalam
pemberitaan, bekerja sesuai kode etik jurnalistik, tidak diskriminatif, harus egaliter
dan tidak boleh pragmatis belaka, mengutamakan humanisme daripada kapitalisme, dan
mengedepankan sisi edukatif ketimbang bisnis. Dalam konteks Indonesia dewasa
ini yang marak akan korupsi di pelbagai level, pembohongan publik, politik
janji, mafia hukum, serta eksploitasi alam dan manusia, pers ditantang untuk
bersikap. Saya lantas teringat akan seruan profetis Iwan Fals, musisi senior
Indonesia, “Pemilik media massa tidak boleh maju dalam pemilu!” Iwan Fals lebih
dahulu membaca indikasi ketidakadilan yang akan dimainkan atau dimungkinkan
oleh media massa. Atau seperti kritik Dr. Marsel pada akhir uraiannya, “Dewasa
ini, pengusaha pers mengorbitkan pimpinannya menjadi penguasa”. Pers bersikap,
pers mesti bersikap!
Mahasiswa dan Pers Masa Kini
Mengkritisi mahasiswa dan pers masa
kini, tidak serentak mengabaikan ‘sikap positif’ yang telah ditelurkan oleh dua
kekuatan ini. Pada konteks-konteks tertentu, pers dan mahasiswa sudah bersikap
sebagaimana mestinya, atau bersikap sesuai konteks. Perkawinan antara mahasiswa
dan pers setidak-tidaknya sukses memberi ‘bedak’ tersendiri bagi wajah bumi
NTT. Kita mengenal Dusun Flobamora, Jurnal Sastra Santarang, Komunitas SARE
(Sastra Rakyat Ende), Komunitas Sophia, Komunitas Sastra Sendal Jepit, VOX dan
KMK Ledalero, Biduk Ritapiret, Ziarah (Warta Rohani Katolik) Biara Karmel
Maumere, atau Paguyuban Pelajar BARINA (Bajawa-Riung-Nagekeo) di Maumere.Di
lain spesialisasi, banyak juga kelompok paduan suara atau tim relawan, seni
rupa (L’arts Ledalero), seni tari, atau Organisasi Kemahasiswaan UnFlor dan
STKIP Ruteng yang muncul. Semuanya itu melibatkan pers, atau dengan lain
perkataan, pers mengorbitkan kreativitas dan minat
mahasiswa kita. Pers juga ‘memprovokasi’ mahasiswa.
Mahasiswa sudah bersikap, Pers sudah bersikap. Kita
dipanggil sembari ditantang untuk bersikap terus-menerus, untuk ‘terjun ke
jalan’. Bersikap selaras zaman, bersikap demokratis, konstruktif, sertakritis
dan rasional. Mari kita mengapresiasi setiap kritik aktual dan mari bersikap…!***