Kamis, 24 September 2015

Mahasiswa dan Pers Bersikap!




Mahasiswa dan Pers Bersikap!
(Membaca Opini Dr. Marsel Robot sebagai Sebuah Kritik Aktual)

Oleh: Reinard L. Meo
Mahasiswa STFK Ledalero,
tinggal di Wisma St. Agustinus, Ledalero


            Rabu, 21 Mei 2014, SKH Pos Kupang menurunkan opini Dr. Marsel Robot dengan judul ‘Mengenang Kejatuhan Soeharto: Antara Mahasiswa dan Pers’. Pada tempat pertama, apresiasi dan terima kasih patut dialamatkan kepada Dr. Marsel. Bahwasannya, uraian beliau bukan sekadar sebuah ulasan historis atau sekadar menghidupkan kembali memori pahit 1998 yang menimpa Soeharto dan rezimnya, dengan memfokuskan tesis pada perjuangan serta peran mahasiswa dan pers saja.Lebih dari itu, sebuah ‘pukulan telak’. Secara kritis, uraian reflektif-kontekstual Dr. Marsel ini mesti tajam dibaca sebagai sebuah kritik aktual. Kritik terhadap siapa? Yah, tentu saja kritik terhadap mahasiswa/i dan pers masa kini.Awalnya saya cukup tertantang untuk membuat konfirmasi ini. Sebagai mahasiswa dan peminat jurnalistik, saya merasa sedang dikritik secara tidak langsung. Sekurang-kurangnya saya dapat menangkap apa maksud Dr. Marsel. Dan sebagai jawabannya, saya memilih judul ‘Mahasiswa dan Pers Bersikap!’.

Antara Mahasiswa ’98 dan Mahasiswa Masa Kini

            Dr. Marsel menulis, “Pertama, mahasiswa yang secara riil turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi mengepung Soeharto,…” Aktivitas ‘turun ke jalan’ bukan actusnirmotif, bukan tanpa spirit. Ada nasionalisme sebagai ‘baju zirah’ dan patriotismesebagai ‘pedangnya’. Mahasiswa ’98 menampilkan sisi heroiknya dan memang mahasiswa 98’ itu pahlawan reformasi. Ada beberapa keutamaan yang terejawantahkan di sana. Keberanian, daya kritis, pantang menyerah, atau yang oleh Dr. Otto Gusti disebut ‘cendekiawan terlibat’. Mahasiswa ’98 sukses menterjemahkan konsep-konsep ‘ruang kuliah atau ruang privat’ menuju praksis ‘ruang pasar atau ruang publik’. Pada titik ini, mereka ‘menang’.
            Apa yang dapat dikatakan tentang mahasiswa masa kini? Masih adakah nasionalisme itu? Masih nyatakah patriotisme itu? Sebagai mahasiswa, saya cukup sadar bahwa pertanyaan ini terlampau sulit untuk dijawab. Sulit bukan berarti akhir-akhir ini tidak ada lagi ‘Soeharto jilid 2’, yang mana jika ada, mahasiswa tentu bisa unjuk gigi lagi. Sulit, karena mentalitas mahasiswa masa kini memang sangat tidak teruji, masih jauh dari spirit ‘98. Bahkan jika kita ingin berkata jujur (‘buka kartu’) mahasiswa atau pelajar atau kaum muda masa kini identik dengan hal-hal destruktif. Kita patut miris ketika di Kupang, pelajar yang ugal-ugalan karena mabuk mesti diciduk polisi. Di Bajawa lain lagi, pelajar yang kebut-kebutan dengan kendaraan roda dua juga mesti ‘dijinakkan’ oleh polantas. Atau tentang aborsi oleh seorang mahasiswi di Ruteng yang membuang janin bayinya di saluran irigasi warga dan di Ende, borok bayi kedapatan sedang dijilat anjing. Belum lagi soal free sex di Maumere dan yang tidak sempat diangkat yang terjadi di Larantuka, Lembata, Sumba, dan daratan Timor lainnya.
            Kita unggul dalam anarkisme bukan berarti mahasiswa ’98 itu bersih dari ‘dosa-dosa kaum muda’. Kita ditantang untuk membuktikan ke-maha-kitaan sebagai siswa, sebagai pelajar, sebagai reformator bangsa. Kita dikritik dan kita mesti bersikap. Fakta tentang human trafficking, tambang, KKN, sistem birokrasi yang busuk, atau pembunuhan nilai-nilai kemanusiaan lainnya, meminta dari pada kita sebuah sikap. Kita terlampau dimanjakan sampai-sampai nilai UN/US mesti dikatrol oleh kebijakan sekolah agar bangga berteriak, “Kami 100%...!”. Memang, antara mahasiswa ’98 dan mahasiswa masa kini terbentang jurang yang cukup signifikan. Spirit muda kita dilumpuhkan oleh globalisasi, oleh facebook dan aneka teknologi mutakhir lainnya. Kita condong memilih berlama-lama di hadapan laptop dari pada ‘terjun ke jalan’. Kita bersikap, kita mesti bersikap!

Antara Pers ’98 dan Pers Masa Kini

            Selanjutnya, Dr. Marsel menulis lagi, “Kedua, pihak pers yang merongrong Soehartodengan memprovokasi keadaan. Pers memberikan semacam ‘oksigen publitas’ untuk menghidupkan semangat heroik para mahasiswa yang berdemonstrasi….” Pers ’98 (yang setelah cukup lama ‘dicekik’ oleh rezim Soeharto) bangkit dan menyadari eksistensinya sebagai pilar keempat demokrasi, penyanggah hidup Bangsa dan Negara ini. Sama seperti mahasiswa, ada nasionalisme dan patrotisme yang memantik perjuangan insan-insan pers ’98. Pers juga pahlawan reformasi.
            Bagaimana dengan pers masa kini? Sebagai bukan insan pers, saya tentu tidak bisa berbicara banyak dalam bidang ini. Namun, dunia jurnalisme atau pers atau media massa juga sedang dikritik pada titik ini. Pers tetap dipanggil untuk menyediakan pasokan ‘oksigen publitas’, profesional dalam pemberitaan, bekerja sesuai kode etik jurnalistik, tidak diskriminatif, harus egaliter dan tidak boleh pragmatis belaka, mengutamakan humanisme daripada kapitalisme, dan mengedepankan sisi edukatif ketimbang bisnis. Dalam konteks Indonesia dewasa ini yang marak akan korupsi di pelbagai level, pembohongan publik, politik janji, mafia hukum, serta eksploitasi alam dan manusia, pers ditantang untuk bersikap. Saya lantas teringat akan seruan profetis Iwan Fals, musisi senior Indonesia, “Pemilik media massa tidak boleh maju dalam pemilu!” Iwan Fals lebih dahulu membaca indikasi ketidakadilan yang akan dimainkan atau dimungkinkan oleh media massa. Atau seperti kritik Dr. Marsel pada akhir uraiannya, “Dewasa ini, pengusaha pers mengorbitkan pimpinannya menjadi penguasa”. Pers bersikap, pers mesti bersikap!

Mahasiswa dan Pers Masa Kini

            Mengkritisi mahasiswa dan pers masa kini, tidak serentak mengabaikan ‘sikap positif’ yang telah ditelurkan oleh dua kekuatan ini. Pada konteks-konteks tertentu, pers dan mahasiswa sudah bersikap sebagaimana mestinya, atau bersikap sesuai konteks. Perkawinan antara mahasiswa dan pers setidak-tidaknya sukses memberi ‘bedak’ tersendiri bagi wajah bumi NTT. Kita mengenal Dusun Flobamora, Jurnal Sastra Santarang, Komunitas SARE (Sastra Rakyat Ende), Komunitas Sophia, Komunitas Sastra Sendal Jepit, VOX dan KMK Ledalero, Biduk Ritapiret, Ziarah (Warta Rohani Katolik) Biara Karmel Maumere, atau Paguyuban Pelajar BARINA (Bajawa-Riung-Nagekeo) di Maumere.Di lain spesialisasi, banyak juga kelompok paduan suara atau tim relawan, seni rupa (L’arts Ledalero), seni tari, atau Organisasi Kemahasiswaan UnFlor dan STKIP Ruteng yang muncul. Semuanya itu melibatkan pers, atau dengan lain perkataan, pers mengorbitkan kreativitas dan minat mahasiswa kita. Pers juga ‘memprovokasi’ mahasiswa.
            Mahasiswa sudah bersikap, Pers sudah bersikap. Kita dipanggil sembari ditantang untuk bersikap terus-menerus, untuk ‘terjun ke jalan’. Bersikap selaras zaman, bersikap demokratis, konstruktif, sertakritis dan rasional. Mari kita mengapresiasi setiap kritik aktual dan mari bersikap…!***