Selasa, 25 November 2014

“Mental Revolusif”

ARTIKEL OPINI

“Mental Revolusif”




Oleh Reinard L. Meo
Anggota KMK Ledalero, tinggal di Wisma Agustinus


“..pada bongkahan subuh yang lewat
dengan fragmen-fragmen doa yang lekat
merembeslah harap yang padat
dari bingkai tekad yang nekat

jika bukan Tuhan yang melukis
sia-sialah indah yang kau cita
pemimpin baru Kau beri
kami…? Ah Tuhan, mari bernegosiasi…

                                                (RLM, 22:10-2014)

            Satu lagi hari bersejarah tertoreh dalam lembaran kitab hidup dan ziarah Bangsa dan Negeri ini, Indonesia tercinta. Presiden ke-7 RI, Joko Widodo dan Wakil Presiden yang sebelumnya pernah menduduki jabatan yang sama, Jusuf Kalla, dilantik secara resmi pada Senin, 20 Oktober 2014 di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Melalui pelbagai media, rakyat di daerah-daerah menyaksikan atmosfer gegap-gempita yang mewarnai hampir seluruh titik penting di Ibukota. J Osdar, Wartawan Istana menulis, “…di depan Istana Merdeka (bukan Istana Negara), Jakarta, berlangsung perhelatan massa rakyat mengantar Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla masuk istana. Suasana ini mirip (tidak persis sama) dengan peristiwa 27 dan 28 Desember 1949 ketika massa rakyat berada di lapangan yang kini menjadi halaman Tugu Monas, Jakarta……” (Kompas, 20 Oktober 2014). Di areal Monumen Nasional, warga yang tidak terdeteksi kuantitasnya berkerumun menyaksikan pementasan kesenian tradisional, konser akbar digelar, pedagang kaki lima dan barang dagangannya ikut ambil bagian. Rakyat di luar kota, di Bandung misalnya, turut bersuka cita dengan seragam putih-putih. Mereka melepas balon-balon putih yang bertuliskan harapan-harapan, putih yang melambangkan kesucian. Pendek kata, bersamaan dengan pelantikan dua nahkoda Bangsa ini untuk periode 2014-2019, rakyat turut berpesta. Pelantikan keduanya membersitkan daya yang mempersatukan, para presiden terdahulu, semua ketua umum partai politik, juga banyak pemimpin Negara turut hadir.

Dari Revolusi Mental menuju Mental Revolusif
            Karlina Rohima Supelli atau lebih dikenal sebagai Karlina Supelli, salah satu filsuf perempuan Indonesia, melalui Sesawi.Net, 16 Juni 2014, menulis tentang ‘Revolusi Mental’. Pada bagian prolog dari tulisannya, beliau menekankan pentingnya memahami ‘Revolusi Mental’. Beliau menyebutkan bahwa istilah ‘Revolusi Mental’ banyak dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu terjadi di dunia Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme maupun (Zen) Buddhisme. Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini dalam pidatonya pada 17 Agustus 1956.
            Maju pada bagian operasionalisasinya, ‘Revolusi Mental’ melibatkan semacam strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan dimaksud berisikan haluan umum yang berperan memberi arah bagaimana kebudayaan akan ditangani, supaya tercapai kemaslahatan hidup berbangsa. Strategi berisi visi dan haluan dasar yang dilaksanakan berdasarkan tahapan, target setiap tahap, langkah pencapaian dan metode evaluasinya. Jadi, untuk agenda ‘Revolusi Mental’, kebudayaan mesti dipahami bukan sekadar sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagai corak atau cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam tindakan, praktik dan kebiasaan hidup sehari-hari. Hanya dengan itu, ‘Revolusi Mental’ memang akan menjadi wahana melahirkan Indonesia baru.
Dari rahim konsep yang demikian ideal inilah, Jokowi lahir, tepatnya Jokowi hidupi. Sejak masih menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI, Jokowi secara konsekuen menterjemahkan konsep ini menuju praksis nyata yang teruji, inspiratif. Bahkan, ketika hendak maju menuju kursi kepresidenan, Jokowi (dan JK) menggunakan seruan profetis ini, ‘Revolusi Mental’, sebagai spirit menuju Indonesia Baru. Spirit ‘Revolusi Mental’ yang termanifestasi dalam praktik blusukan, dialog dengan orang-orang kecil, dialog interreligius, dialog inter-parpol, hingga program-program kerja konkret yang pro-rakyat, menjadi garansi yang cukup menjanjikan. ‘Revolusi Mental’ yang tentunya dipelajari secara tekun dan teliti oleh Jokowi (belajar dari Bung Karno) sukses membentuk pribadi sederhana ini menjadi Putera terbaik Indonesia dengan mental yang revolusif. Perlu saya garis bawahi, ‘Revolusi Mental’ (yang semulanya adalah konsep idealis) mesti menjelma secara radikal dan holistik ke dalam diri kita masing-masing sebagai Bangsa Indonesia. “..pemimpin baru Kau beri. kami…? Ah Tuhan, mari bernegosiasi…” Mental Revolusif macam mana?

Bekerja, Bekerja, dan Bekerja
            Litbang Kompas melansir beberapa kata yang diulang berkali-kali oleh Presiden bermental revolusif, Jokowi, dalam pidato perdananya seusai mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden ke-7 RI. Menurut ilmu Retorika, setiap pengulangan sebagai seni dalam berpidato, berarti penegasan, penggarisbawahan, bukannya pengulangan yang tidak perlu. Jokowi menyebut ‘Bekerja Keras’ sebanyak 8 kali, ‘Gotong Royong’ sebanyak 4 kali, dan ‘Bekerja, Bekerja, Bekerja’ sebanyak 3 kali. Berarti Jokowi mengulang kata-kata yang bermakna sama dan satu itu, sebanyak 15 kali. Kerja keras, persatuan, dan gotong royong, ditegaskan kembali (repenetrasi) oleh Jokowi sebagai modal penting guna mewujudkan RI sebagai bangsa besar yang (1) berdaulat dalam politik, (2) berdikari dalam ekonomi, dan (3) berkepribadian dalam bidang budaya. Tiga modal atau prinsip inilah yang sejak lama dikenal sebagai Trisakti Bung Karno.
            Jawaban atas pertanyaan ‘Mental Revolusif macam mana?’ terejawantah secara detail oleh Jokowi. ‘Mental Revolusif’ tidak lain dan tidak bukan adalah mentalitas kerja. Secara antropologis, Harsojo (Pengantar Antropologi, 1986) menegaskan hakikat manusia sebagai homo faber, manusia yang berkarsa dan berkarya. Homo faber mengindikasikan keistimewahan dan superioritas manusia atas makhluk infra-human lainnya. Superioritas itu terletak pada dikaruniainya akal budi atau ratio pada manusia (Raymundus R. Blolong, 2012:177-178). Ratio, hemat saya, adalah salah satu instrument hakiki sebagai hasil dari negosiasi Tuhan dengan kita. Dan secara praktis-operasional, Jokowi mengajak, menunjukkan, dan meyakinkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa (yang mesti) bermental revolusif, bangsa yang sungguh-sungguh menghayati esensi dan eksistensi diri sebagai homo faber menuju Indonesia Baru.

Mental Revolusif adalah Kita
            Secara serempak dan fasih, seruan ‘Jokowi-JK adalah Kita’ sambil mengangkat 2 jari, menjadi seruan yang mungkin paling banyak diserukan oleh semua pendukung Capres dan Cawapres nomor urut 2 ini, selama masa kampanyenya. Hingga ke pelosok kampung-kampung, anak-anak kecil pun secara gembira menyerukan ‘Jokowi-JK adalah Kita’. Apa arti seruan ini? Mari melihat dengan mata baru. Secara biologis-fisik-ragawi, kita tidak akan pernah sama seperti Jokowi-JK, meskipun kini mereka telah menjadi pemimpin kita. Namun, seruan ini didesain sedemikian agar kita meneladani mental revolusif, mental kerja yang telah dihidupi oleh Jokowi-JK. Seperlunya kini, saya mengubah ‘Mental Jokowi-JK adalah Mental Kita.’ Sebab jika tidak, sampai kapan pun, istilah dan praktik blusukan akan tetap menjadi milik Jokowi-JK semata-mata. Apa itu mental revolusif, apa itu blusukan, jika para pemimpin di daerah-daerah kita tetap berlaku arogan, tetap korup, tetap nepotis, tetap tidak demokratis, tetap bergaya dalam mobil mewah dengan kaca tertutup di hadapan persoalan tambang, di hadapan isu gender, di hadapan praksis human trafficking, di hadapan kemiskinan, keterbelakangan dalam bidang pendidikan, ekonomi, budaya, pariwisata dan kreativitas kaum muda? Apa itu mental revolusif jika rakyat terus bermalas-malasan, jika para mahasiswa dan cendekiawan terus nyaman dalam menara gading ilmunya? Mental Revolusif adalah Kita. Kita adalah Kerja. Kita adalah Blusukan. Pemimpin bekerja, rakyat bekerja, Indonesia semakin jaya.

“..pada bongkahan subuh yang lewat
dengan fragmen-fragmen doa yang lekat
merembeslah harap yang padat
dari bingkai tekad yang nekat….

Selamat bekerja Jokowi-JK, selamat bekerja rakyat Indonesia…!*