ARTIKEL OPINI
“Mental Revolusif”
Oleh Reinard L. Meo
Anggota KMK Ledalero, tinggal di Wisma Agustinus
“..pada bongkahan subuh yang lewat
dengan fragmen-fragmen doa yang lekat
merembeslah harap yang padat
dari bingkai tekad yang nekat
jika bukan Tuhan yang melukis
sia-sialah indah yang kau cita
pemimpin baru Kau beri
kami…? Ah Tuhan, mari bernegosiasi…
(RLM, 22:10-2014)
Satu
lagi hari bersejarah tertoreh dalam lembaran kitab hidup dan ziarah Bangsa dan
Negeri ini, Indonesia tercinta. Presiden ke-7 RI, Joko Widodo dan Wakil
Presiden yang sebelumnya pernah menduduki jabatan yang sama, Jusuf Kalla,
dilantik secara resmi pada Senin, 20 Oktober 2014 di Gedung Nusantara I,
Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Melalui pelbagai media, rakyat di
daerah-daerah menyaksikan atmosfer gegap-gempita yang mewarnai hampir seluruh
titik penting di Ibukota. J Osdar, Wartawan Istana menulis, “…di depan Istana
Merdeka (bukan Istana Negara), Jakarta, berlangsung perhelatan massa rakyat
mengantar Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla masuk istana.
Suasana ini mirip (tidak persis sama) dengan peristiwa 27 dan 28 Desember 1949
ketika massa rakyat berada di lapangan yang kini menjadi halaman Tugu Monas,
Jakarta……” (Kompas, 20 Oktober 2014). Di areal Monumen Nasional, warga yang
tidak terdeteksi kuantitasnya berkerumun menyaksikan pementasan kesenian
tradisional, konser akbar digelar, pedagang kaki lima dan barang dagangannya
ikut ambil bagian. Rakyat di luar kota, di Bandung misalnya, turut bersuka cita
dengan seragam putih-putih. Mereka melepas balon-balon putih yang bertuliskan
harapan-harapan, putih yang melambangkan kesucian. Pendek kata, bersamaan
dengan pelantikan dua nahkoda Bangsa ini untuk periode 2014-2019, rakyat turut
berpesta. Pelantikan keduanya membersitkan daya yang mempersatukan, para
presiden terdahulu, semua ketua umum partai politik, juga banyak pemimpin
Negara turut hadir.
Dari
Revolusi Mental menuju Mental Revolusif
Karlina Rohima Supelli atau lebih
dikenal sebagai Karlina Supelli, salah satu filsuf perempuan Indonesia, melalui
Sesawi.Net, 16 Juni 2014, menulis tentang ‘Revolusi Mental’. Pada bagian prolog
dari tulisannya, beliau menekankan pentingnya memahami ‘Revolusi Mental’.
Beliau menyebutkan bahwa istilah ‘Revolusi Mental’ banyak dipakai dalam sejarah
pemikiran, manajemen, sejarah politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu
terjadi di dunia Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani,
Hinduisme maupun (Zen) Buddhisme. Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini
dalam pidatonya pada 17 Agustus 1956.
Maju
pada bagian operasionalisasinya, ‘Revolusi
Mental’ melibatkan semacam strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan dimaksud berisikan
haluan umum yang berperan memberi arah bagaimana kebudayaan akan ditangani,
supaya tercapai kemaslahatan hidup berbangsa. Strategi berisi visi dan haluan
dasar yang dilaksanakan berdasarkan tahapan, target setiap tahap, langkah
pencapaian dan metode evaluasinya. Jadi, untuk agenda ‘Revolusi Mental’,
kebudayaan mesti dipahami bukan sekadar sebagai seni pertunjukan, pameran,
kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan
sebagai corak atau cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang
terungkap dalam tindakan, praktik dan kebiasaan hidup sehari-hari. Hanya dengan
itu, ‘Revolusi Mental’ memang akan menjadi wahana melahirkan Indonesia baru.
Dari rahim konsep yang demikian ideal inilah,
Jokowi lahir, tepatnya Jokowi hidupi. Sejak masih menjadi Wali Kota Solo dan
Gubernur DKI, Jokowi secara konsekuen menterjemahkan konsep ini menuju praksis
nyata yang teruji, inspiratif. Bahkan, ketika hendak maju menuju kursi
kepresidenan, Jokowi (dan JK) menggunakan seruan profetis ini, ‘Revolusi
Mental’, sebagai spirit menuju Indonesia Baru. Spirit ‘Revolusi Mental’ yang
termanifestasi dalam praktik blusukan, dialog dengan orang-orang kecil, dialog
interreligius, dialog inter-parpol, hingga program-program kerja konkret yang
pro-rakyat, menjadi garansi yang cukup menjanjikan. ‘Revolusi Mental’ yang
tentunya dipelajari secara tekun dan teliti oleh Jokowi (belajar dari Bung
Karno) sukses membentuk pribadi sederhana ini menjadi Putera terbaik Indonesia
dengan mental yang revolusif. Perlu saya garis bawahi, ‘Revolusi Mental’ (yang
semulanya adalah konsep idealis) mesti menjelma secara radikal dan holistik ke
dalam diri kita masing-masing sebagai Bangsa Indonesia. “..pemimpin
baru Kau beri. kami…? Ah Tuhan, mari bernegosiasi…” Mental
Revolusif macam mana?
Bekerja,
Bekerja, dan Bekerja
Litbang Kompas melansir
beberapa kata yang diulang berkali-kali oleh Presiden bermental revolusif,
Jokowi, dalam pidato perdananya seusai mengucapkan sumpah jabatan sebagai
Presiden ke-7 RI. Menurut ilmu Retorika, setiap pengulangan sebagai seni dalam
berpidato, berarti penegasan, penggarisbawahan, bukannya pengulangan yang tidak
perlu. Jokowi menyebut ‘Bekerja Keras’ sebanyak 8 kali, ‘Gotong Royong’
sebanyak 4 kali, dan ‘Bekerja, Bekerja, Bekerja’ sebanyak 3 kali. Berarti
Jokowi mengulang kata-kata yang bermakna sama dan satu itu, sebanyak 15 kali.
Kerja keras, persatuan, dan gotong royong, ditegaskan kembali (repenetrasi)
oleh Jokowi sebagai modal penting guna mewujudkan RI sebagai bangsa besar yang
(1) berdaulat dalam politik, (2) berdikari dalam ekonomi, dan (3)
berkepribadian dalam bidang budaya. Tiga modal atau prinsip inilah yang sejak
lama dikenal sebagai Trisakti Bung Karno.
Jawaban
atas pertanyaan ‘Mental Revolusif macam mana?’ terejawantah secara detail oleh
Jokowi. ‘Mental Revolusif’ tidak lain dan tidak bukan adalah mentalitas kerja.
Secara antropologis, Harsojo (Pengantar Antropologi, 1986) menegaskan hakikat
manusia sebagai homo faber, manusia
yang berkarsa dan berkarya. Homo faber mengindikasikan keistimewahan dan
superioritas manusia atas makhluk infra-human lainnya. Superioritas itu
terletak pada dikaruniainya akal budi atau ratio pada manusia (Raymundus R.
Blolong, 2012:177-178). Ratio, hemat saya, adalah salah satu instrument hakiki
sebagai hasil dari negosiasi Tuhan dengan
kita. Dan secara praktis-operasional, Jokowi mengajak, menunjukkan, dan
meyakinkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa (yang mesti) bermental
revolusif, bangsa yang sungguh-sungguh menghayati esensi dan eksistensi diri
sebagai homo faber menuju Indonesia
Baru.
Mental
Revolusif adalah Kita
Secara
serempak dan fasih, seruan ‘Jokowi-JK adalah Kita’ sambil mengangkat 2 jari,
menjadi seruan yang mungkin paling banyak diserukan oleh semua pendukung Capres
dan Cawapres nomor urut 2 ini, selama masa kampanyenya. Hingga ke pelosok
kampung-kampung, anak-anak kecil pun secara gembira menyerukan ‘Jokowi-JK
adalah Kita’. Apa arti seruan ini? Mari melihat dengan mata baru. Secara
biologis-fisik-ragawi, kita tidak akan pernah sama seperti Jokowi-JK, meskipun
kini mereka telah menjadi pemimpin kita. Namun, seruan ini didesain sedemikian
agar kita meneladani mental revolusif, mental kerja yang telah dihidupi oleh
Jokowi-JK. Seperlunya kini, saya mengubah ‘Mental Jokowi-JK adalah Mental
Kita.’ Sebab jika tidak, sampai kapan pun, istilah dan praktik blusukan akan
tetap menjadi milik Jokowi-JK semata-mata. Apa itu mental revolusif, apa itu
blusukan, jika para pemimpin di daerah-daerah kita tetap berlaku arogan, tetap
korup, tetap nepotis, tetap tidak demokratis, tetap bergaya dalam mobil mewah
dengan kaca tertutup di hadapan persoalan tambang, di hadapan isu gender, di
hadapan praksis human trafficking, di
hadapan kemiskinan, keterbelakangan dalam bidang pendidikan, ekonomi, budaya,
pariwisata dan kreativitas kaum muda? Apa itu mental revolusif jika rakyat
terus bermalas-malasan, jika para mahasiswa dan cendekiawan terus nyaman dalam
menara gading ilmunya? Mental Revolusif adalah Kita. Kita adalah Kerja. Kita
adalah Blusukan. Pemimpin bekerja, rakyat bekerja, Indonesia semakin jaya.
“..pada bongkahan subuh yang lewat
dengan fragmen-fragmen doa yang lekat
merembeslah harap yang padat
dari bingkai tekad yang nekat….
Selamat bekerja Jokowi-JK, selamat bekerja
rakyat Indonesia…!*