Pesan
Ibu Bumi
Cerpen Eka
Putra Nggalu
“Kau dengar itu Woga.
Deburan ombak dan hempasan angin itu. Itu nynyian laut. Pesan Ina
Nian Tanakepada alam semesta. Entah apa
isinya!”
Aku terus saja membayangkan
nenek. Itu malam terakhir kami sama-sama tidur sekamar. Dalam hening yang aneh ia
mengajakku memasang telinga, mendengarkan debur ombak dan angin yang bertiup di
sela-sela nyiur yang melambai-lambai. Nyanyian laut. Begitu nenek menyebut
segala suara yang datang dari arah laut Utara. Kata nenek, itu adalah cara Ina Nian Tana menitipkan pesan kepada
alam semesta dan penghuni bumi. Pesannya bermacam-macam, tergantung nada
nyanyian yang diperdengarkan.
“Kalau begitu, apa pesan nyanyian
kali ini, Nek?”
“Entahlah. Kau dengar Woga. Laut
seperti meratap, seperti ingin meluapkan amarah dan kesedihan”
“Bagaimana nenek mengetahuinya?”
“Pasang saja telingamu, Woga.”
‘’Lalu, mengapa laut bersedih?”
Hening..
Sepanjang malam nenek memejamkan
mata. Namun aku tahu. Ia sama sekali tidak tidur. Ia seperti ingin
berkonsentrasi mendengarkan suara-suara dari laut Utara. Lebih dari itu, ia
seperti membuka diri kepada Ina Nian Tana,
supaya dirinya bisa mendengar titah sosok yang diyakini sebagai ibu bumi.
Nenek mengeluh. September sudah lama
lewat. Namun panas masih saja berkepanjangan.Ilalang dan rerumputan liar di
ladang-ladang sudah lama dibersihkan. Sako
seng sudah lama berakhir. Orang-orang sudah mulai menanam jagung-jagung dan
ubi-ubi di ladang-ladang mereka.Dan mereka butuh air. Satu-satunya yang mereka
harapkan adalah air hujan, air dari Ama
Lero Wulan. Ketika air hujan membasahi bumi, Ama Lero Wulanmenjadi satu dengan Ina Nian Tana, lantas memberi nutrisi bagi benih-benih, agar mereka
tumbuh dan memberikan kehidupan. Namun, sampai setelah September telah lama
lewat, hujan hanya turun begitu-begitu saja.Ama
Lero Wulan tak kunjung datang menjumpai kekasihnya. Seperti enggan. Tidak
biasanya itu terjadi. Dan jika kali ini terjadi, pasti ada sesuatu.
“Woga…”
“Iya nenek…”
“Janganlah tidur terlalu nyenyak malam
ini. Berdoalah agar kau tetap terjaga”
Nenek tahu bagaimana aku ketika
tidur. Aku selalu sudah nyenyak dan mendengkur ketika nenek sampai pada pertengahan
cerita. Mustahil malam ini ia memintaku berjaga. Mustahil.
“Woga..”
Aku yang setengah tertidur terbangun
karena suaranya yang tegas, dan tangannya yang menguncang-guncang tubuhku.
“Esok setelah pulang sekolah, kau harus langsung ke
rumah. Jangan lagi berlama-lama di pantai. Ingat! Nenek tunggu”.
***
Aku telat bangun keesokan harinya. Bahkan untuk ke
sekolah pun aku harus terburu-buru. Aku bahkan tidak sempat sarapan pagi dan
pamit kepada nenek. Pelajaran sekolah berlangsung seperti biasa. Pelajar kelas
empat pulang pukul duabelas. Bersama teman-teman aku berjalan kaki menyusuri
pantai. Itu jalan yang biasa kami lewati. Beramai-ramai, saling berkejaran,
menenteng tas dan sepatu-sepatu yang terasa berat di kaki. Hari itu sangat panas,
seperti hari-hari terakhir yang telah lalu. Kami beristirahat sejenak di
pantai. Teman-teman saya yang laki-laki memanjat dan menjatuhkan beberapa buah
kelapa. Kami melepas dahaga di siang yang terik itu. Air laut tampak surut,
jauh sekali. Beberapa nelayan terlihat berkarang dan menyulu ikan.
Aku pulang ketika matahari sudah agak ke barat. Tepat
ketika aku sampai di sisi sebelah jalan raya yang kuseberangi, gemuruh menderu,
bumi bergoncang, panas, angin kencang, dan seakan langit
runtuh. Semua orang berhamburan ke luar rumah, berlari mencari tempat terbuka
yang lebih tinggi. Aku yang kebingungan turut begitu saja. Orang-orang
berteriak-teriak ‘Ami Noran.. Ami Noran..’
sambil membuat gaduh. Kelak aku tahu, itu kepercayaan tradisional, memberi
tanda kepada Ina Nian Tana dan Ama Lero Wulan bahwa dunia masih
berpenghuni.
Aku lari, terpisah dari keluarga selama hampir tiga hari.
Ketika bertemu lagi dengan keluargaku nenek telah tiada. Ia tak mau lari. Ia
menantiku di rumah. Tsunami melahapnya.
***
Malam ini aku teringat nenek.
“Nak esok jangan main terlalu lama di pantai. Ibu
mendengar pesan dari ibu bumi”
“Kami tak akan lagi bermain di pantai, Bu. Semua sudah
dipagari, untuk tempat-tempat wisata dan hotel-hotel.”
(Eka Putra Nggalu. Mahasiswa STFK Ledalero
Maumere)
“Pesan Ibu Bumi”: Stop Privatisasi...!
(Pembacaan Kritis
atas Cerpen Eka Putra Nggalu)
Oleh Reinard L. Meo
Peminat Sastra, anggota Teater Aletheia Ledalero
Bahwa Flores Pos telah membuka ruang
bagi tumbuh-kembang sastra dengan menyediakan kolom bagi puisi, prosa, dan
cerita pendek (cerpen) setiap hari Selasa, ini patut diapresiasi. Lebih dari
sekadar penyediaan, hemat saya, Harian Umum kita ini secara gamblang
menunjukkan dukungannya bagi perkembangan dan kreativitas anak-anak Flores-NTT.
Artinya, ada semacam api harapan yang tak henti-hentinya berkobar. Dalam
artikel ini, saya akan membaca kembali secara lebih teliti satu nomor cerpen
yang dimuat pada Selasa (6/10/2015).
‘Pesan Ibu Bumi’
Cerpen berjudul ‘Pesan Ibu Bumi’ ini
ditulis oleh Eka Putra Nggalu, mahasiswa STFK Ledalero yang kini berdomisili di
Lokaria, Maumere. Dilahirkan pada 17 Januari 1992, dalam pengakuannya, Eka
mulai tertarik pada sastra sejak mengenyam pendidikan di Seminari
Todabelu-Mataloko. Eka pernah bergiat dalam Komunitas Teater Vigilantia Karmel-Maumere;
pernah diundang untuk mengikuti Festival Sastra Santarang (2015) di Kupang, dan
diundang juga untuk mengikuti Temu II Sastrawan NTT (2015) di Ende. Penikmat
sastra yang juga jatuh cinta pada aliran musik reggae ini dapat dijumpai via
FB: Dede Aton, dan saat ini, aktif menulis kritik cerpen untuk Pos Kupang serta
menjadi kontributor tetap untuk Warta Flobamora wilayah Maumere.
Sejauh
pembacaan saya, nada dasar yang memotivasi berdirinya bangunan cerita yang
dilukiskan oleh Eka ialah keprihatinan. Keprihatinan yang tajam mengandaikan
pengamatan yang jeli, pengamatan yang jeli mengandaikan pengalaman yang riil,
lalu keprihatinan itu sendiri menjadi semacam jiwa yang pada akhirnya
menelurkan sebuah refleksi. Oleh karena itu, saya dapat menyebut ‘Pesan Ibu
Bumi’ sebagai sebuah cerita reflektif atau refleksi yang dinarasikan secara
lebih apik-menggairahkan.
Cerpen
yang kurang-lebih berjumlah 600 kata ini diawali dan diwarnai dengan dialog
demi dialog. Woga, (si aku) menggali kembali apa yang terjadi di masa lalu,
kenangan bersama neneknya. Rupanya, saat ini, Woga sedang merindukan neneknya,
merindukan detik-detik terakhir bersama neneknya. “Aku
terus saja membayangkan nenek. Itu malam terakhir kami sama-sama tidur sekamar.” Jika dibaca lebih lanjut, yang hendak diangkat oleh Woga
melalui kenangan terakhir bersama nenek ialah bahwa alam juga dapat berbicara,
dapat menyampaikan sesuatu kepada manusia. Dalam deskripsi yang lebih
tradisional, “Nyanyian laut. Begitu nenek
menyebut segala suara yang datang dari arah laut Utara. Kata nenek, itu adalah
cara Ina Nian Tana menitipkan pesan kepada alam semesta dan penghuni bumi.
Pesannya bermacam-macam, tergantung nada nyanyian yang diperdengarkan.” Nenek
Woga adalah wanita tua yang sudah cukup intim mengakrabi alam.
Eka juga menyodorkan pesan ekologis bagi pembaca. Melalui
nenek, pesan itu dapat kita baca. “Nenek mengeluh. September
sudah lama lewat. Namun panas masih saja berkepanjangan. Ilalang dan rerumputan liar
di ladang-ladang sudah lama dibersihkan. Sako seng sudah lama berakhir.
Orang-orang sudah mulai menanam jagung-jagung dan ubi-ubi di ladang-ladang
mereka. Dan
mereka butuh air. Satu-satunya yang mereka harapkan adalah air hujan, air dari
Ama Lero Wulan. Ketika air hujan membasahi bumi, Ama Lero Wulan menjadi satu dengan Ina Nian
Tana, lantas memberi nutrisi bagi benih-benih, agar mereka tumbuh dan
memberikan kehidupan. Namun, sampai setelah September telah lama lewat, hujan
hanya turun begitu-begitu saja.”
Cerita yang dipaparkan oleh Eka secara sederhana, luwes,
dialogis, dan sehari-hari ini berakhir tragis. Pesan ibu bumi yang diramalkan
nenek pada malam itu, terjadi keesokan sorenya. “Aku
lari, terpisah dari keluarga selama hampir tiga hari. Ketika bertemu lagi
dengan keluargaku, nenek telah tiada. Ia tak mau lari. Ia menantiku di rumah. Tsunami
melahapnya.”
Ada pun beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh Eka
dalam ‘Pesan
Ibu Bumi’. Memang, saya percaya, semakin pendek sebuah cerita, semakin
seseorang itu jujur dan tidak berbelit-belit dalam menceritakannya. Namun, hal
ini tidak cocok bagi ‘Pesan Ibu Bumi’. Seharusnya, Eka dapat ‘bermain-main’
bersama pembaca pada bagian-bagian tertentu, misalnya dalam deskripsi tentang
pantai yang biasa mereka lewati sepulang dari sekolah. Eka, bisa saja, sekaligus
mempromosikan pantai tersebut kepada khalayak pembaca. Diperpanjang sedikit,
tidak mengurangi kenikmatan apa yang saya sebut sebagai penulisan sehari-hari
ini. Hal lain, aspek lokalitas juga ditonjolkan oleh Eka. Aspek ini diwakili
oleh beberapa kata bahasa daerah, yakni Ina Nian Tana, sako
seng, Ama
Lero Wulan, dan ami noran. Hanya saja, Eka tidak memberikan penjelasan lanjutan atas
kata-kata ini. Bahwa pembaca setia Flores Pos itu bukan hanya orang Maumere
saja, ketiadaan penjelasan itu menjadi kekurangan yang cukup mencolok.
Stop Privatisasi..!
Awalnya, saya sangka Eka hanya bertutur lepas soal relasi
Woga, si nenek, dan alam. Namun, akhirnya saya tertegun. Poin kunci atau pesan
utama yang hendak Eka sampaikan justru terletak pada bagian akhir cerita ini. “Malam ini aku teringat nenek. ‘Nak esok jangan main terlalu
lama di pantai. Ibu mendengar pesan dari ibu bumi.’ ‘Kami tak akan lagi bermain
di pantai, Bu. Semua sudah dipagari, untuk tempat-tempat wisata dan
hotel-hotel.’” Dalam beberapa
kalimat saja, Eka membuat saya bergidik kagum. Pesan utama itu saya ringkas
dalam: Stop Privatisasi..!
Apa itu privatisasi? Privatisasi merujuk pada proses,
cara, atau perbuatan mengalihkan milik negara menjadi milik perseorangan atau
penjualan sebagian atau semua aset negara kepada publik, baik melalui penjualan
langsung ke perusahaan swasta nasional dan asing maupun melalui bursa efek. Secara
yuridis, privatisasi itu kontra-UUD 1945 pasal 33 ayat 3; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh
negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Dalam
tafsiran Dr. Alex Jebadu, bagian dari imperatif ini yang sering diabaikan
padahal sama penting dengan pernyataan ‘dikuasai oleh negara’ ialah ‘dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat’. Bahkan, yang disebutkan
kedua ini menjadi anima legis, jiwa
dari UU tersebut.
Miris lagi
mengerikan menyaksikan betapa di Labuan Bajo kita ramai-ramai meneriakan #SAVE
Pantai Pede, Stop Privatisasi dan di Kupang #SAVE Pantai Pasir Panjang, Stop
Privatisasi, di Maumere malah suara kita masih tertidur. Bisa saya duga, pantai
yang dimaksudkan oleh Eka ialah Pantai Lokaria (yang dikenal juga dengan Pantai
Parish) juga pantai-pantai lain yang berada di Maumere, yang mulai dikuasai
oleh segelintir pemilik modal, kaum kapitalis. 2010 yang lalu, saya sendiri
pernah mengunjungi Pantai Lokaria itu. Dan kini, memang benar apa yang Eka
gambarkan, “Kami
tak akan lagi bermain di pantai, Bu. Semua sudah dipagari, untuk tempat-tempat
wisata dan hotel-hotel.” Mari kita bersama ‘Pesan Ibu Bumi’ ramai-ramai menolak
privatisasi. #SAVE Pantai-pantai di Maumere.***